Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, DPR dan Pemerintah telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak mematuhi perintah MK agar dilakukan perbaikan terhadap proses pembentukan UU Cipta Kerja. Berdasarkan uji formil pada Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK memerintahkan agar dilakukan perbaikan proses pembentukan undang-undang, tetapi Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan materil atau melakukan revisi terhadap undang-undang.
Hal tersebut diungkapkan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari yang hadir sebagai Ahli dalam sidang lanjutan pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Sidang kelima Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dihadirkan oleh 15 serikat atau federasi pekerja sebagai Pemohon digelar pada Senin (7/8/2023). Sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK tersebut mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon.
Secara lebih jelas Feri menyebutkan, kesalahan berikut yang fundamental dilakukan DPR dan Pemerintah berupa mengabaikan putusan Mahkamah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Menurutnya, UU Cipta Kerja yang ada pada masa itu dalam posisi dibekukan melalui putusan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Sejatinya, Perppu merupakan emergency law yang dibentuk karena keadaan hal ihwal kegentingan memaksa.
“Namun DPR justru melakukan langkah pengabaian atas putusan Mahkamah dengan menjadikan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai salah satu agenda penting dan strategis guna diselesaikan pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023. Pemerintah pun mengklaim Perppu Cipta Kerja ini menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta. Namun hal yang perlu dipahami bahwa dengan dikeluarkannya Perppu ini nyata sudah kegagalan pemerintah dalam memahami subtansi dari putusan MK,” terang Feri dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Berikutnya, Feri menyebutkan Putusan MK yang bersifat final and binding menjadi ciri yang membedakan dari peradilan umum atau biasa. Sifat ini, sambungnya, berbeda dengan lembaga peradilan di Mahkamah Agung (MA), yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain seperti Peninjauan Kembali (PK). Ketentuan mengenai sifat final putusan MK tersebut telah diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, sambung Feri, Pasal 47 UU MK turut menguatkan sifat final tersebut dengan menyatakan Putusan MK akan memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum.
Berdasarkan peraturan tersebut, Feri melihat bahwa sifat final Putusan MK memiliki minimal dua konsekuensi, yaitu Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. Selanjutnya telah memperoleh kekuatan hukum, artinya Putusan MK berdampak hukum bagi semua pihak yang terkait dengan putusan tersebut. Hal ini berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Sebagai konsekuensinya, semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK.
Sementara terkait dengan Pembentukan Perppu oleh presiden untuk menjawab Putusan MK, Feri berpendapat hal ini merupakan cara baru yang dilakukan untuk mengabaikan putusan MK. Sebab pembentukan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi prasyarat yang diberikan oleh Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, utamanya mengenai hak-hak masyarakat dalam partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tak hanya itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga dapat dianggap sebagai tindakan yang menyimpang dari konstitusi.
“Oleh karena itu, MK harus meluruskan konsepsi terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh presiden dengan mengeluarkan sebuah perppu untuk memenuhi putusan judicial review dari MK. Ketika hal ini tidak dilakukan, dapat dipastikan ke depannya Putusan MK akan kehilangan kuasa untuk dapat meluruskan persoalan legislasi di Indonesia,” jelas Feri.
Kemudian, Ledia Hanifa Amaliah dari dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hadir sebagai Saksi dari Pemohon yang menceritakan rangkaian rapat yang disaksikannya di DPR saat proses pembentukan dan pengesahan Perppu menjadi UU Cipta Kerja. Bahwa dirinya sebagai peserta pembahasan Perppu yang ditetapkan oleh Pemerintah menjadi UU Cipta Kerja ini menyaksikan dan mengikuti adanya Rapat Paripurna ke-15 pada Selasa, 7 Februari 2023. Pada agenda ini Wakil Ketua DPR merinci surat presiden perihal Perppu Cipta Kerja dan akan melakukan tindak lanjut atas hal tersebut. Selanjutnya pembahasan perppu ini kemudian dilakukan oleh DPR pada 14 Februari 2023 dan dilaksanakan Rapat Panja pada 15 Februari 2023. Kemudian, dilakukan rapat kerja dengan kementerian-kementerian terkait dengan panitia perancang atas hasil pembahasan RUU menjadi UU pada hari yang sama. hasilnya, kata Ledia, DPR menyetujui untuk dilanjutkan pada Rapat Tingkat II dengan hasil berupa dua fraksi menolak, yakni Fraksi PKS dan Partai Demokrat.
Melanjutkan agenda rapat yang diikutinya, Ledia mengatakan pada 21 Maret 2023, Rapat Paripurna pun melakukan pengesahan, namun PKS menyampaikan interupsi. Pihak PKS menilai Perppu Cipta Kerja harus dicabut karena belum disahkan menjadi UU dalam masa persidangan III yang dimulai 10 Januari 2023 namun sudah berakhir pada 16 Februari 2023.
“PKS menilai berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, persidangan berikut yang dimaksud adalah Sidang I DPR, tetapi pada 30 Desember 2022 dinyatakan pengesahannya sehingga ini telah melampaui yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PKS pun mendesak agar Perppu harus dinyatakan tidak berlaku. Sebab penerbitannya tidak memenuhi persyaratan hal ikhwal memaksa. Dan sebagai anggota DPR maka saksi melakukan penilaian objektif terhadao Perppu tersebut yang berdasarkan pengetahuan Saksi, hal demikia harus didasarkan pada hal ikhwal memaksa,” sampai Ledia.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan. Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat. Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati. Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945. Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut.
SN 09/Editor