Foto Sidang MK

(SPNEWS) Jakarta, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus memenuhi unsur kegentingan memaksa. Sementara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) tidak memenuhi hal unsur mendesak dan darurat, maka UU tersebut merupakan produk hukum yang melanggar.

Hal ini disampaikan Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar yang hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan terhadap uji formil terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Rabu (26/7/2023). Sidang keenam ini beragendakan mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang terdiri atas 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja.

Dalam keterangannya, Zainal mengatakan berbicara Perppu perlu untuk menelisik jauh pada pemikiran pendiri bangsa yakni Soepomo pada 1942. Menurut Zainal, pemikiran Soepomo tertuang dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Selanjutnya, untuk tindaklanjut atas hal ini, dapat dipedomani Pasal 22 ayat () UUD 1945 yang menyatakan, “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.”

Berdasarkan norma tersebut, Zainal mengungkapkan Perppu harus disidangkan pada masa sidang berikutnya. Sehingga pada hakikatnya Perppu yang disahkan—kemudian menjadi UU Cipta Kerja ini—sebagai suatu produk yang melanggar karena seharusnya diproses dalam keadaan mendesak dan darurat. Sementara yang terjadi persetujuan Perppu ditunda oleh DPR dan Pemerintah, sehingga tidak terdapat urgensi untuk segera membahasnya.

“Oleh karenanya ketidaktaatan konstitusional pembentuk undang-undang terhadap UU Ciptaker ini jika kita komparasi secara sederhana, maka dokumen UU Cipta Kerja dengan dikeluarnya Perppu dan diundangkan, perbedaannya tidak banyak terutama perbedaan susbstantif. Dari hal ini terlihat bagaimana ketaatan konstitusional tersebut digeser sehingga kewajiban partisipasi publik pun ditinggalkan,” jelas Zainal di hadapan Majelis yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra tersebut.

Zainal melanjutkan, pernyataan bahwa partisipasi publik merupakan hal yang esensial dan sangat terkait dengan kesakralan dari suatu undang-undang. Sebab, tidak hanya menyoal legislasi, tetapi juga keberadaan nilai pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sehingga, kewajiban yang harusnya ada untuk mendengarkan partisipasi public, kemudian digeser dengan menegasikan kedaruratan yang semestinya tidak diperlukan dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini.

Berikutnya, Zainal juga menyebutkan UU Cipta Kerja melanggar nilai konstitusional. Hal ini tidak hanya bermakna menghormati konstitusi secara tertulis, tetapi juga konsep. Dari pelanggaran yang terjadi pada penetapan UU Cipta Kerja ini terdapat pelanggaran dalam konteks konstitusionalitas secara formal yang tertulis dalam konstitusi dan juga ajudikasi. Ia menuturkan dengan membentuk Perppu dari konsep undang-undang dan memperbaiki sebagaimana diperintahkan MK, Pemerintah dan DPR sebenarnya telah melakukan penghinaan terhadap konstitusi dan Putusan MK itu sendiri. “Singkatnya silakan MK membangun konstitusionalitas yang dimau, sementara Pemerintah dan DPR memikirkan pula konstitusionalitas yang diinginkannya,” sampai Zainal.

Selanjutnya, Zainal memberikan pandangan mengenai konstitusionalitas UU Cipta Kerja lahir dari Perppu dan bukan dari undang-undang biasa, sehingga apabila dilakukan uji formil maka yang harus dilakukan uji formil yakni Perppu. Ditambah lagi, kata Zainal, Perppu yang dijadikan UU Cipta Kerja ini tidak memmuat logika hal ikhwal kegentingan memaksa yang membuat presiden mengharuskan pergeseran dari logika Hukum Tata Negara bisa ke Hukum Tata Negara Darurat.

“Jika tidak cukup waktu, ada waktu diberi dua tahun oleh MK, Pemerintah dan DPR menyia-nyikan selama 13 bulan dan menggesernya dengan mengesahkan Perppu. Hal ikhwal kegentingan memaksa ini dari undang-undang sekarang yang diuji formil ini tidak lahir dari konteks biasa, tetapi luar biasa,” sebut Zainal.

Baca juga:  DISKRIMINASI TERHADAP BAYI BELUM LAHIR OLEH BPJS KESEHATAN

Bivitri Susanti selaku Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dalam keterangan Ahli Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 menyebutkan fenomena “autocratic legalism” terjadi pada proses pengesahan UU Cipta Kerja yang diujikan pada perkara ini. Sebab, dengan pengesahan tersebut kekuasaan pemerintah terlihat didesain agar tidak bisa dikontrol dengan mengabaikan dan bahkan secara aktif mematikan fungsi kontrol lembaga-lembaga lainnya, termasuk kekuasaan yudikatif. Fenomena autocratic legalism ini menurut Bivitri perlu dikaji sebagai persoalan mendasar karena kekuasaan tanpa kontrol yang telah ada dijalankan secara legal karena cara pandang yang legalisme. Oleh karenanya, Bivitri menilai halk demikian sebagai suatu bentuk pembangkangan konstitusi yang dilakukan Pemerintah dan DPR.

Lebih jelas Bivitri menjabarkan pembangkangan konstitusi tersebut dapat tergambar pada dua aspek, yaitu adanya tindakan-tindakan hukum yang menunjukkan iktikad buruk pemerintah dalam implementasi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan penyalahgunaan Perppu melalui praktik legislasi. Terkait dengan adanya iktikad buruk atau politik hukum pemerintah ini bagi Bivitri dapat dicermati dari tindakan hukum dengan tetap menerapkan UU 11/2020 setelah 25 November 2023.

“Pada akhirnya intensi ini seolah mendapat pengukuhan dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022. Bahkan tak berhenti di situ, pembangkangan itu terus berlanjut dengan dibahas, disahkan, dan diundangkannya Perppu 2/2022 menjadi UU 6/2023, meskipun sudah ada pelanggaran yang nyata dari Pasal 22 ayat (3) UUD 1945,” terang Bivitri.

Pada kesempatan yang sama, hadir pula Timbul Siregar selaku Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) memberikan keterangan sebagai Saksi Pemohon Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023. Ia menceritakan dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berdampak pada perkara yang dihadapi pihaknya selaku pembela para buruh. Pada suatu perkara hukum di Sukabumi, ditetapkan keberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang akhirnya ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat bahwa upah minimum pada 2021 – 2022 tidak mengalami kenaikan. Hal ini, kisah Timbul, melahirkan sebuah keresahan bagi buruh. Ditambah pula, dengan ketentuan-ketentuan yang juga bertalian dengan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semuanya dapat saja selesai dengan mediasi dan buruh tidak bisa memperjuangkan haknya secara lebih lanjut.

“Dan sebagai organisasi pekerja Peraturan Pemerintah ini yang berpedoman pada ketentuan UU Cipta kerja ini sebenarnya kami sudah melakukan upaya dengan upaya Pemerintah untuk melakukan perbaikan, tetapi ketika dari organisasi meminta Pemerintah menjalankan agar dilakukan perbaikan itu lagi-lagi tidak dijalankan dan ini menjadi hal yang disesalkan,” cerita Timbul pada Seluruh pihak yang menghadiri persidangan secara langsung dari Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK Jakarta.

Untuk diketahui, sidang ini digelar untuk empat perkara sekaligus. Pertama, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Kedua, Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban (Presiden Dewan Eksekutif Nasional) dan Dedi Hardianti (Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional). Ketiga, Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 14 badan hukum. Keempat, Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli.

Bahwa permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Para Pemohon juga mempertanyakan tentang persetujuan DPR RI atas penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Menurut para Pemohon, hal ini berarti sama halnya DPR RI menyetujui alasan kegentingan memaksa Presiden dalam menetapkan Perppu Cipta Kerja. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian atau setidak-tidaknya potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Baca juga:  MEWUJUDKAN GENERASI YANG TEPAT DEMI MENUJU ORGANISASI KUAT, AKTIF DAN INOVATIF

Sementara itu pada sidang pemeriksaan pendahuluan Rabu (10/5/2023), para Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 mengatakan pokok-pokok permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 berdasarkan delapan alasan. Di antaranya, persetujuan DPR atas Perppu 2/2022 menjadi undang-undang cacat formil atau cacat konstitusi; Sidang DPR mengambil keputusan atas persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang tidak memenuhi kuota forum (kuorum); bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020; tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan memaksa; tidak jelas pihak yang memprakarsai Perppu 2/2022; tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; tidak memenuhi asas kejelasan rumusan; dan tidak memenuhi asas keterbukaan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

Adapun permohonan Nomor 46/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 14 badan hukum. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (16/5/2023) para Pemohon menyebutkan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Ketika Presiden menetapkan Perppu ini, DPR dalam masa reses masa persidangan untuk tahun sidang 2022/2023 yang dilaksanakan mulai 16 Desember 2022 hingga 9 Januari 2023. Lalu, DPR kembali menggelar masa persidangan yang dimulai sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023. Seharusnya, Perppu Cipta Kerja tersebut selambat-lambatnya harus disahkan dalam rapat paripurna pada 16 Februari 2023. Namun faktanya, Perppu tersebut baru mendapat persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 dalam masa sidang 14 Maret sampai 13 April 2023. Dengan demikian, menurut para Pemohon telah terbukti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang pertama yaitu selambat-lambatnya 16 Februari 2023.

Selanjutnya permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 diajukan Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (23/5/2023) Pemohon mengatakan, UU P3 adalah hanya akal-akalan dari DPR untuk membenarkan Perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Bahwa penetapan UU Cipta Kerja tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

SN 09/Editor