Gambar Ilustrasi

Ada tumpang tindih aturan dalam RUU Cipta Kerja yang mengatur tentang telekomunikasi

(SPN News) Jakarta, RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menyederhanakan peraturan, tetapi ternyata banyak aturan yang tumpah tindih dalam RUU tersebut. Co-Founder FINE Institue, Kusfriadi menilai terbitkan RUU Cipta Kerja tak sejalan dengan semangat undang-undang yang memayungi sektor telekomunikasi. Kusfriadi menilai ada tiga poin kritik atas RUU Cipta Kerrja yang menunjukan tumpang tindih aturan.

Kusfriadi menilai sektor telekomunikasi punya kekhasan yang salah satunya adalah keterbatasan spektrum frekuensi yang dapat dimanfaatkan, maka UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi telah menetapkan bahwa sektor telekomunikasi memegang peran strategis dan menguasai kepentingan dan hajat hidup orang banyak yang sesuai amanat pasal 33 UUD 45.

Selain itu, Pasal 28F UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa akses komunikasi dan informasi adalah hak semua orang. “Maka semangat deregulasi dan debirokratisasi yang dibawa RUU Cipta Kerja guna menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi harus tetap sejalan dengan kedua amanat konstitusi ini,” ujar Kusfriadi (17/7/2020).

Baca juga:  6 PELAYANAN PUBLIK MEWAJIBKAN JADI PESERTA BPJS KESEHATAN

Kedua, karena frekuensi merupakan barang milik publik, maka RUU Ciptaker harus memperkuat aspek disinsentif bagi pelaku usaha telekomunikasi yang tidak memanfaatkan izin penggunaan frekuensi dengan baik. Di pasal 33 RUU Ciptaker perlu diperjelas mengenai prosedur evaluasi bagi mereka yang diberi sanksi dalam hal ini.

“Guna menciptakan level playing field dan akuntabilitas agar tercipta iklim kompetisi yang sehat,” ujar Kusfriadi.

Ketiga, ia menilai RUU Ciptaker perlu mendorong investasi dengan menegaskan penerapan teknologi baru dalam kerjasama penggunaan spektrum frekuensi seperti 5G. Mengingat, saat ini cakupan layanan 2G, 3G, dan 4G telah mencakup 95 persen wilayah Indonesia. Pasal 33 RUU Ciptaker juga perlu diperkuat dengan memasukkan pembatasan kerjasama penggunaan spektrum frekuensi untuk mencegah praktek calo izin (brokerage) jika ada spektrum frekuensi yang tidak terutilisasi.

Baca juga:  TURNAMEN FOOTSAL SPN KABUPATEN TANGERANG

“Sebagai perbandingan, India justru mengenakan denda sebesar 230 persen dari biaya tahunan atas spektrum frekuensi radio yang tidak terutilisasi oleh pelaku usaha pemegang izin,” ujarnya.

Maka, ia menilai RUU Cipta Kerja tidak dapat berdiri sendiri dengan pendekatan deregulasi yang ‘one size fits all’. Keunikan sektor telekomunikasi ini meniscayakan para pemangku kepentingan untuk turut andil dalam merumuskan regulasi yang baru. “Agar kepentingan semua pihak sejalan dan tidak lebih tinggi dari amanah konstitusi dan tujuan akhir dari penyelenggaraan kegiatan ekonomi di sektor ini,” tegasnya.

SN 09/Editor