Ilustrasi

Adanya kekosongan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam ketentuan Norma a quo, tentunya tidak sejalan dengan jaminan prinsip Negara Hukum

 

(SPNEWS) Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat. Buntut putusan itu, UU Administrasi Pemerintahan kini juga digugat ke MK. Judicial review itu diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa, Muhammad Saleh, dan Nur Rizqi Khafifah.

“Menyatakan Pasal 53 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana termuat dalam Pasal 175 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang berbunyi: “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)’, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum” bertentangan secara bersyarat (Conditionally Unconstitutional) dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Melalui Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan”. Sehingga bunyi selengkapnya menjadi “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)’, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum, melalui Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan,” demikian permohonan Viktor dkk sebagaimana tertuang dalam website MK, (12/1/2022).

Baca juga:  WORKSHOP DPD SPN PROVINSI BANTEN PRA MAJENAS SPN III 

 

Sebab, dalam putusan MK tentang UU Ciptaker, MK memutuskan:

1. Pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu; termasuk
2. Tidak dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru;
3. Tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020.

“Artinya dalam memaknai keberlakuan UU 11/2020, sebagaimana dalam 3 perintah dalam pertimbangan hukum dari Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 di atas, haruslah dimaknai Seluruh PERATURAN PELAKSANA sebagai pelaksanaan UU 11/2020, yang bersifat strategis dan berdampak luas agar DITANGGUHKAN terlebih dahulu, tidak dibenarkannya MEMBENTUK Peraturan Pelaksana Baru dan Tidak dibenarkan pula melakukan PENGAMBILAN KEBIJAKAN STRATEGIS yang dapat berdampak luas sebagaimana dimaksud dalam UU 11/2020,” beber Viktor.

Selanjutnya, Pasal 53 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 30/2014 mengatur tentang pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud dan pengadilan wajib memutuskan permohonan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Kemudian Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.

Baca juga:  PEMBAGIAN HADIAH TURNAMEN DPC CUP KOTA TANGERANG

“Upaya ini secara umum disebut Upaya Fiktif Positif melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujarnya.

Artinya, kata Viktor, bahwa perubahan Pasal 53 UU 30/2014 masih memberikan ruang bagi warga masyarakat untuk mengajukan permohonan dalam urusan administrasi pemerintahan secara konvensional (permohonan tertulis / surat non-elektronik) yang apabila tidak dibalas oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan selama 5 hari maka terdapat upaya Fiktif Positif yang dapat ditempuh sebagaimana diatur. Namun yang menjadi persoalan adalah terdapat kekosongan hukum yang diakibatkan ketentuan norma a quo menghilangkan peran Pengadilan incasu PTUN untuk memutus penerimaan permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum.

“Adanya kekosongan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam ketentuan Norma a quo, tentunya tidak sejalan dengan jaminan prinsip Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” pungkasnya.

SN 09/Editor