Ilustrasi

UU Cipta Kerja dianggap bisa memicu kerusakan ekologis dan konflik sosial seperti ketidakjelasan terkait bank tanah dan dihapuskannya persentase minimal pengusahaan lahan.

(SPNEWS) Jakarta, Disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR dikhawatirkan menimbulkan potensi penguasaan lahan yang lebih besar dari perambahan perkebunan sawit. Aturan baru yang dimaksud yakni revisi di Pasal 14 dan 16 UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, mengungkapkan beberapa pasal di Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dianggap bisa memicu kerusakan ekologis dan konflik sosial seperti ketidakjelasan terkait bank tanah dan dihapuskannya persentase minimal pengusahaan lahan.

Dilansir dari Harian Kompas, Minggu (18/10/2020), dalam Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, penetapan batasan lahan untuk perkebunan mempertimbangkan aspek fisik, ekologis, sosial, dan tata ruang.

Namun, dalam RUU Cipta Kerja versi 812 halaman, penetapan luas lahan hanya mempertimbangkan aspek fisik, yakni jenis tanaman dan ketersediaan lahan yang sesuai agroklimat. Adapun pertimbangan dari aspek ekologis, sosial, dan tata ruang dihapus.

“Apakah hal ini akan diatur lebih lanjut dalam PP (peraturan pemerintah). Bila pengaturannya hanya sesederhana itu, yang terjadi diperkirakan dominasi lahan oleh tanaman yang laku di pasar saja akan terjadi. Saat ini mungkin tanaman sawit yang paling laku,” kata Inda.

Baca juga:  BURUH SERANG TUNTUT UPAH LAYAK SESUAI KEMANUSIAN

Pasal lain yang dipermasalahkan yakni Pasal 16 di mana perusahaan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat 3 tahun pasca-pemberian status hak tanah dengan luasan minimal 30 persen dari luas hak atas tanah.

Kemudian dalam jangka waktu 6 tahun, perusahaan wajib mengusahakan seluruh luas tanah yang menjadi hak atas tanah dengan tanaman perkebunan.

Sebagaimana diketahui, Pasal 16 mengatur tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk memanfaatkan lahannya setelah pemberian status hak atas tanah serta pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya.

“(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan: a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit 30 persen (tiga puluh perseratus) dari luas hak atas tanah; dan b. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan,” bunyi Pasal 16.

“(2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi lanjutan Pasal 16.

Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan tersebut diubah, yakni perusahaan wajib mengusahakan lahannya paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah. Lahan yang belum diusahakan dalam jangka waktu tersebut kemudian akan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Baca juga:  PT NIKOMAS GEMILANG DENGAN PRODUKSI NIKE AKAN RUMAHKAN PEKERJA DENGAN UPAH 50%

Menurut Inda, dalam RUU Cipta Kerja memang diubah ketentuan batas pengusahaan lahan dari tiga tahun menjadi dua tahun. Namun, terdapat ketidakjelasan aturan terkait maksud dari diusahakan, indikasi, dan berapa persen penanaman tersebut.

“Bila pemberian status hak atas tanahnya tidak clear and clean, maka dua tahun ini akan menjadi alasan bagi perusahaan sehingga lahan-lahan masyarakat akan digusur. Begitu juga bila pengawasan tidak dilakukan dengan baik dan jelas dapat berpotensi menjadi land banking (bank tanah) bagi perusahaan,” ujar dia.

Sementara itu, Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdalifah Machmud menegaskan, ketentuan lebih detail dalam revisi pasal-pasal terkait perkebunan di UU Cipta Kerja akan diatur dalam regulasi turunan.

”Jadi, ketentuan tersebut bukan dihapus, melainkan diatur di PP. Kuncinya ada di Ayat 2. Info dari Kementerian Pertanian, di Ayat 2 dijelaskan batasan itu tidak bisa sama rata, tergantung jenis tanaman dan ketersediaan lahan yang sesuai agroklimat,” ujar dia.

SN 09/Editor