Ilustrasi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia minimal harus tumbuh 8 persen per tahun
(SPNEWS) Jakarta, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menyebut Indonesia saat ini berada di puncak bonus demografi. Situasi itu harus dimanfaatkan oleh bangsa ini semaksimal mungkin agar kehadiran generasi produktif dan milenial itu menjadi kekuatan besar bagi bangsa.
Syaratnya, kata Piter Abdullah, Indonesia harus tumbuh rata-rata 8 persen setiap tahun. Sebab, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh dengan sedemikian tinggi, maka tidak bisa disebut bonus demografi, melainkan bencana demografi.
“Masyarakat kita didominasi oleh kelompok muda. Angkatannya masih milenial. Masih kuliah dan baru lulus. Kalau ekonomi kita tidak mampu tumbuh 8 persen setiap tahun maka setiap tahun akan menumpuk permasalahan. Penganggur baru menumpuk. Persoalan ini harus diselesaikan”, terang Piter dalam Webinar UU Cipta Kerja, (15/12/2020).
Apalagi menurut data yang dimilikinya angkatan kerja Indonesia terus bertambah sebanyak 3 juta per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, hanya bisa menyerap sekitar 1.250.000 angkatan kerja baru. Sebab, dari setiap 1 persen ekonomi hanya bisa menyerap pertumbuhan 250.000 angkatan kerja baru. Artinya ada 1.750.000 masyarakat Indonesia yang baru lulus kuliah dan lulus SMK tidak terserap.
Di sisi lain, kata Piter, Indonesia untuk bisa tumbuh rata-rata 6 persen atau 6,8 persen setiap tahun, Indonesia membutuhkan investasi yang sangat besar. Sementara, angka investasi yang masuk saat ini tidak cukup untuk mendongkrak mencapai tingkatan yang diharapkan. Baru rata-rata 6 sampai 7 persen per tahun.
Untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan negara menengah, Indonesia harus tumbuh rata-rata 6,8 persen selama 10 tahun ke depan. Sementara dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah bisa sampai pada 6 persen.
Ekonom dari Universitas Indonesia itu menyoroti, pemicu investasi di Indonesia tumbuh lambat. Menurut dia, ada banyak masalah. Di antaranya perizinan usaha atau investasi, pembebasan lahan, ketenagakerjaan, isu lingkungan, koordinasi pusat-daerah, inkonsistensi pejabat pemerintah, dan banyak hal lainnya.
SN 09/Editor