(SPN News) Bandung, Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional (DPD SPN) Jawa Barat terus melakukan Kordinasi dan Konsolidasi terkait dengan Rencana Rapat Akbar tanggal 27 Oktober 2016 yang akan digelar di depan Gedung Sate Bandung. Agenda ini terkait dengan pengupahan tahun 2017 yang 2 tahun terakhir ini selalu menjadi kontroversi karena pemerintah mengeluarkan PP No 78 Tahun 2015 terkait upah minimum, dimana PP 78 tersebut sangat bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 terkait penetapan Upah Minimum.

SPN yang berafiliasi dengan KSPI telah melakukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA). Saat aksi tanggal 29 September 2016 lalu kami sudah mendatangi MA dan minggu kemarin MA sudah mengirim surat kepada Presiden KSPI Said Iqbal kalau berkas gugatan JR sudah disampaikan kepada Majelis Hakim MA. Penyampaian Ketua DPD SPN Jawa Barat Iyan Sopyan ini disambut baik oleh Ketua Umum DPP SPN Iwan Kusmawan SH, bahwa persoalan upah sangat penting karena merupakan hak mutlak yang harus diterima para pekerja/buruh beserta keluarganya disamping hak lainnya.

Untuk itu Gerakan Rapat Akbar yang akan diselenggarakan bersama Aliansi Buruh Jabar tersebut menjadi penting bagi Jawa Barat, karena selama ini Jawa Barat sering disebut sebagai daerah  penyangga ibu kota Negara Indonesia yaitu Jakarta, maka hasil Rakordasus DPD Jabar merumuskan beberapa hal yang akan menjadi tuntutan dalam Rapat Akbar yaitu :

Baca juga:  PENGUSAHA ANCAM BERIKAN SANKSI BILA PEKERJA MOGOK NASIONAL

1. Hapus Upah Minimum Provinsi Jawa Barat karena sering digunakan untuk membayar para pekerja perkebunan dan pegawai toko dan lain-lain, disamping itu UMP selalu juga digunakan untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten daerah terendah minus industri. Jabar tidak perlu ada UMP karena semua kab/kota di Jabar sudah menetapkan UMK. Ingat upah tidak boleh diskriminasi.

2. Hapus Upah Padat Karya dan Upah Rumah Sakit yang sering dijadikan alat oleh para pengusaha untuk membayar upah murah, padahal kedua upah tersebut bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003, tetapi Gubernur kok menetapkan, ada apa ini?, menjadi tandatanya besar bagi pekerja/buruh Jabar. Upah dipetak-petakan  seperti sawah saja.

3. Tolak PP No 78 Tahun 2015 yang menjadi dalang upah murah, sudah jelas bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 kok malah dilegitimasi oleh para Gubernur/Bupati/Walikota, seharusnya Gubernur/Bupati/Walikota tidak perlu takut kepada pemerintah pusat dalam menetapkan upah minimum, karena yang memilih mereka (Gubernus/Bupati/Walikota) bukan Presiden dan bukan para Menteri, tetapi warga masyarakat yang ada didaerahnya. Jadi sangat wajar kalau pemerintah daerah ingin memberikan kesejahteraan kepada pekerja/buruh karena mereka mempunyai hak pilih sebagai warga negara Indonesia dan mereka ikut menentukan dalam pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota.

Baca juga:  BIMBINGAN TEKNIS PENYUSUNAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH

4. Laksanakan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penetapan upah minimum, bukan hanya melihat pertumbuhan ekonomi dan inflasi saja.

5. Pidanakan penggunaan Anggaran APBD untuk Dewan Pengupahan yang diselewengkan karena tidak melaksanakan amanat UU No 13 Tahun 2003, terkait dengan melakukan survey melainkan digunakan untuk study banding dan lain-lain yang tidak ada korelasinya dengan penetapan upah minimum.

Demikian penegasan Ketua Umum DPP SPN yang disampaikan didalam Rapat Kordinasi Daerah Jawa Barat tanggal 21 Oktober 2016 di Kota Bandung. SPN Jabar sendiri menargetkan massanya untuk menghadiri Rapat Akbar 27 Oktober 2016 sekitar 5000 orang dari 17 kab/kota di Jabar.

 

Shanto dari Iwan Kusmawan SH/Coed