Ilustrasi Ruangan Rumah Sakit
Banyak penyebab yang menjadikan BPJS Kesehatan selalu defisit
(SPNEWS) Jakarta, Kepesertaan BPJS Kesehatan akan berubah dari sistem tiga kelas menjadi satu standar yang sama secara bertahap mulai 2021 hingga 2022. Nantinya, kepesertaan berdasarkan kelas mandiri I, II, dan III untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) akan dihapus, menjadi hanya dengan satu standar kelas.
“Perumusan meliputi konsep dan kriteria kelas standar yang akan diberlakukan dalam JKN,” terang Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi, belum lama ini.
Kelas standar diharapkan menjadi solusi atas polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan, termasuk mengantisipasi lonjakan permintaan peserta untuk turun kelas demi menghindari membayar lebih mahal. Begitu juga defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Namun, saat ini belum ada perkiraan berapa iuran yang akan diberlakukan, meski Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqin memastikan tarifnya tidak dipukul rata. Sebab, penentuan tarif pembayaran dengan sistem paket (INACBGs) tetap mempertimbangkan 11 kriteria standar yang sudah disepakati, termasuk soal Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non PBI.
“Apabila dibuat menjadi kelas 2, misalnya, bagaimana kemampuan membayar peserta PBPU kelas 3 selama ini? Tentu, perlu analisis kemampuan membayar peserta untuk ini,” kata Mutaqqin.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan ada beberapa plus minus dari kebijakan hapus kelas. Namun, pada dasarnya kebijakan ini harus dilakukan karena amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam beleid itu disebutkan perlu ada peninjauan manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020. Maka dari itu, perubahan aturan melalui hapus kelas dikebut sebelum tutup tahun.
“Sebenarnya, sudah dari 2017-2018, tetapi kajiannya tidak pernah selesai. Nanti bocorannya ada dua kelas, PBI dan Non PBI. Non PBI ini meliputi peserta pemerintahan, TNI, Polri, kelas mandiri dan para bukan pekerja, semua huni Non PBI,” ujar Timboel (22/9/2020).
Kebijakan ini pun punya plus minus. Pertama, kebijakan ini akan menurunkan disparitas iuran dan layanan yang selama ini jomplang. Nantinya, peserta tak perlu repot urus naik kelas demi layanan yang lebih memadai. Begitu juga sebaliknya. Peserta tak perlu turun kelas demi biaya yang lebih ringan di kantong.
Syaratnya, standar layanan harus benar-benar dijamin. Karena dulu, dengan sistem mandiri kelas 1, 2, dan 3, peserta punya pilihan ketika kualitas layanan di kelas ‘bontot’ kurang, maka bisa naik kelas.
Nantinya karena tidak bisa naik kelas lagi, maka kualitas harus benar-benar dijamin dengan standar yang baik. Hal ini yang perlu dapat perhatian.
“Bisa tidak pemerintah dan rumah sakit (RS) benar-benar memastikan standar kualitas yang sama dan baik ini benar-benar bisa diterapkan? Karena kemampuan, kualitas, dan kecukupan fasilitas masing-masing RS berbeda-beda,” jelasnya.
Dengan standar kelas yang hanya terbagi PBI dan Non PBI, maka rumah sakit harus membagi kelas perawatan pasien menjadi dua tipe kamar tidur. Misalnya, untuk kelas PBI diatur dengan untuk enam orang dan Non PBI empat orang.
“Kalau RS negara, mungkin bisa dapat bantuan APBN dan APBD, kalau RS swasta bagaimana? Saya kira ini perlu ada biaya dari pemerintah untuk kesiapan awal penyamarataan fasilitas di semua RS,” tuturnya.
Timboel memperkirakan pada masa peralihan akan tetap ada kelas tengah yang direlakan oleh RS untuk mengimbangi kebutuhan fasilitas dan layanan bagi kelas PBI dan Non PBI. Apalagi, RS tengah memiliki keterbatasan ruang dan kapasitas di tengah pandemi virus corona atau covid-19.
“Ini juga momentum bagi pemerintah untuk bisa meningkatkan kemitraan RS, masih ada sekitar 300-an RS yang belum jadi mitra BPJS Kesehatan karena berbagai alasan, utamanya beda kelas pasar. Tetapi, ini perlu karena khawatirnya nanti ada kondisi supply rendah, tapi demand tinggi terhadap fasilitas dan ruang RS,” jelasnya.
Selain persoalan tidak repot naik turun kelas, Timboel mengatakan kebijakan ini sejatinya bisa menjadi jurus untuk mengurangi potensi korupsi atau fraud yang selama ini terjadi akibat praktek-praktek manipulasi oleh oknum-oknum tertentu. Contohnya yang sering terjadi dan sudah jadi rahasia umum adalah permainan di RS.
Misalnya, ada pasien yang aslinya merupakan peserta mandiri kelas 1, tapi karena permainan dikatakan tidak tersedia tempat tidur untuk kelas 1, maka mau tidak mau harus di kelas 2. Akhirnya, RS bisa mendapatkan klaim kelas 1 dari peserta dengan hanya memberikan pelayanan kelas 2.
“Jadi hapus kelas dengan ubah ke satu standar ini bisa menurunkan potensi korupsi atau fraud semacam ini. Ini salah satu yang buat beban keuangan BPJS Kesehatan tinggi,” terangnya.
Namun, kebijakan ini tak serta merta bisa menolak defisit. Menurut hitung-hitungannya, sumber keuangan BPJS Kesehatan yang utama masih berasal dari kelas PBI.
Pemerintah, sambungnya, menganggarkan sekitar Rp48,7 triliun di APBN 2021. Lalu ditambah sekitar Rp2,4 triliun untuk subsidi sebesar Rp7.000 per peserta mandiri kelas 3 akibat kebijakan kenaikan iuran per Juli 2020.
Selain dari iuran, pemerintah juga memberikan pemasukan tambahan sekitar Rp1 triliun sampai Rp2 triliun dari cukai rokok. Kemudian, sumber penutup beban keuangan juga berasal dari iuran dari peserta badan usaha, estimasinya Rp31 triliun pada tahun depan.
“Tapi saya lihat ini akan ada koreksi karena resesi, banyak perusahaan merumahkan karyawan, PHK, hingga tutup, otomatis perusahaan tidak bayar iurannya, berkuranglah sumber dari kelompok ini,” ungkapnya.
Selanjutnya, ada pula pemasukan dari pembayaran kepesertaan TNI dan Polri sekitar Rp25 triliun per tahun. Sisanya dari kelompok mandiri yang diperkirakan mencapai Rp12 triliun, bukan pekerja Rp1,8 triliun, dan peserta yang ditanggung APBD sekitar Rp15 triliun.
“Nah dari ini semua yang aman (pasti bisa masuk ke dompet BPJS) yang dari pemerintah, sementara yang badan usaha dan mandiri kemungkinan turun karena tekanan ekonomi,” ucapnya.
“Apakah keuangan akan berputar jadi surplus? Ya tidak juga selama yang mandiri ini masih tertekan ekonomi. Apalagi, kalau hitungan tarif barunya tidak tepat sesuai aktuaria, itu justru bisa lebih defisit,” sambungnya.
Ketika nanti satu kelas, ia menilai keuangan mungkin akan lebih terjamin selama yang dipenuhi pemerintah terus bisa ditutup. Apalagi, mandiri kelas 3 masih dapat subsidi. Namun, hal ini tidak mutlak karena peserta dari kelas-kelas yang tidak ditanggung pemerintah bukan tidak mungkin akan tetap sulit bayar dan memberi tekanan defisit akibat kondisi pemulihan ekonomi.
Lalu, bagaimana soal dampaknya ke masyarakat? Timboel mengatakan bagi peserta mandiri kelas 1 dan 2, penyamaan standar ini ada plus minusnya sendiri.
“Tentu mereka kelompok yang senang karena bisa membayar iuran lebih murah, tapi layanannya cocok tidak? Ini yang jadi pertanyaan. Sementara yang kelas 3, ini yang akan keberatan karena bayarnya jadi lebih tinggi,” terangnya.
Ia pun memperkirakan besaran iuran yang dipasang idealnya berada di kisaran Rp 50 ribu per peserta. Sebab, tarif harus berada di kisaran bawah dari rentang iuran saat ini, yaitu kelas 3 sebesar Rp 42 ribu sampai kelas 1 Rp150 ribu.
Ketika kondisi ekonomi masih dalam tahap pemulihan, Timboel melihat kebijakan kenaikan iuran bagi peserta mandiri kelas 3 tentu akan memberatkan. Maka, ia menyarankan lebih baik dilakukan ketika ekonomi sudah benar-benar kondusif.
Senada, Ekonom UI Fithra Faisal juga mengingatkan agar penyesuaian iuran dengan standar baru dilakukan dengan kajian waktu yang tepat. Pemerintah harus bisa benar-benar menghitung bagaimana kemampuan masyarakat di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi nanti.
“Begitu juga dengan willingness to pay (keinginan untuk membayar). Jangan sampai perhitungan salah, waktunya juga salah. Idealnya, dengan memperhatikan daya beli, maka baru bisa pada 2022, karena kalau tahun depan justru kontra produktif dengan stimulus-stimulus yang diberikan,” kata Fithra.
Sementara, soal hapus kelas sebagai jurus menekan defisit keuangan, Fithra agak ragu. Sebab, menurutnya penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan adalah buruknya tata kelola di perusahaan dan sistem.
“Masalahnya banyak, jawabannya pun tidak sekadar gabungkan kelas. Ada persoalan tata kelola, premi iuran yang tidak masih di bawah aktuaria, over klaim, fraud, itu semua harus dibenahi, tidak bisa hanya dengan gabungkan kelas,” pungkasnya.
SN 09/Editor