Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai DPR dan pemerintah telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), (24/5/2022).

Revisi UU PPP ini akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki omnibus law UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.

“Ini salah satu langkah sangat terbuka bagi DPR dan pemerintah mengabaikan putusan MK. Tentu saja harusnya UU yang dihasilkan memiliki kecacatan prosedur yang harusnya UU tersebut tidak sah,” kata Feri (24/5/2022).

Menurut Feri, revisi UU PPP menjadi cara bagi pemerintah dan DPR untuk melegitimasi UU Cipta Kerja yang sebenarnya bermasalah.

Baca juga:  PERUNDINGAN DEADLOCK, PEKERJA PT DONG SUNG MULSAN INDONESIA LAKUKAN UNJUK RASA

Dalam putusan soal UU Cipta Kerja, MK menyoroti metode omnibus law tidak diatur dalam mekanisme pembentukan UU di Tanah Air. MK juga menyoroti belum optimalnya partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan UU Cipta Kerja. MK pun memerintahkan pembentuk UU untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan, yaitu pada 25 November 2021. Jika dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. DPR dan pemerintah kemudian menempuh langkah revisi UU PPP, tetapi tidak memperbaiki UU Cipta Kerja.

Revisi UU PPP di antaranya memuat soal definisi metode omnibus law, perencanaan pembentukan UU dengan metode omnibus law, dan perbaikan teknis yang telah diserahkan kepada presiden atau yang belum diserahkan kepada presiden.

Baca juga:  PABRIK KAYU LAPIS TUTUP, 1.076 KARYAWAN MENJADI PENGANGURAN

“Bagi saya UU tersebut jelas merupakan cara untuk mengabsahkan UU Cipta Kerja yang cacat berdasarkan putusan MK,” ujar Feri.

SN 09/Editor