Ilustrasi
Berdasarkan pengalaman yang ada, pemerintah tidak terlalu percaya dengan usulan Bank Dunia
(SPNEWS) Jakarta, Pemerintah meyakini usulan Bank Dunia tidak selalu tepat dengan konsisi ekonomi dalam negeri. Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul From Containment to Recovery pada (29/9) menyarankan agar negara-negara di Asia Pasifik termasuk Indonesia untuk memperkuat reformasi di sektor keuangan, transportasi, dan komunikasi.
“Jangan terlalu percaya saran World Bank karena tidak selalu sesuai dengan negara kita,” kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir (1/10/2020).
Berkaca dari sejarah, Iskandar menyampaikan usulan Bank Dunia belum tentu baik karena itu merupakan saran umum yang sama untuk semua negara. Sehingga tidak spesifik mengatasi permasalahan Indonesia. Padahal masalah ekonomi di tiap negara umumnya berbeda.
“Dulu tahun 1997 dan 1998 kita pernah juga ngikutin saran World Bank, tapi karena tidak sesuai dengan kondisi negara kita, maka hasil buat ekonomi kita malah menjadi lebih memburuk,” kata Iskandar.
Kendati demikian, Iskandar bilang pemerintah saat ini memang tengah memperkuat sektor keuangan melalui perubahan payung hukum yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait Stabilitas Sistem Keuangan.
Tidak hanya itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia (BI) yang diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan sedang dalam pembahasan, dinilai mampu menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia ke depan.
Salah satu bentuk penguatan yakni melalui reformasi kelembagaan. “Misalnya sekarang ketua OJK sebagai koordinator dari Dewan Komisioner (DK) OJK, tapi kewenangan memutus ada di anggota DK/Ketua Eksekutif. Makanya kewenangan ketua OJK perlu diperkuat. Ini contohnya saja dan sedang dikaji penguatan lain-lainnya,” ujar Iskandar.
Selain itu, Iskandar bilang, salah satu masalah terbesar Indonesia sebenarnya adalah iklim usaha yang kurang kondusif. Saat ini izin birokrasi berusaha panjang dan berbelit. Makanya, peringkat kemudahan berusaha atawa Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia stagnan di level 73 dunia selama dua tahun ke belakang.
“Birokrasi yang panjang dan tidak efisien sehingga investasi untuk industri dari hulu ke hilir tersendat-sendat dan kita tergantung Sumber Daya Alam (SDA) terus. Sehingga nilai tambah rendah,” kata Iskandar.
SN 09/Editor