Foto Istimewa
Pekerja perempuan rentan ketika bekerja di industri perkebunan kelapa sawit
(SPNEWS) Jakarta, Pekerja perempuan dinilai kurang aman bekerja di industri perkebunan kelapa sawit . Banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi pekerja perempuan yang bekerja di sektor ini.
Oleh karena itu diperlukan payung hukum supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi. “Kebijakan ini mesti dipatuhi seluruh anggota RSPO,” ujar Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sekaligus Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang pada Webinar FGD Sawit Berkelanjutan bertajuk “Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia”.
Sebab itu, lanjut Tiur, penempatan perlindungan perempuan harus terus dijaga. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki para perempuan. Selain itu, kesetaraaan gender bisa diterapkan untuk semua level perkejaan, termasuk para pekerja perempuan di lapangan.
“Sebab itu perlu dipastikan praktik berkelanjutan dalam melindungi perempuan di sektor perkebunan dilakukan dan standar RSPO yang disediakan juga untuk memastikan ada forum untuk para perempuan,” kata Tiur.
Sementara itu, Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP) Yunita Widiastuti mengatakan, Cargill Tropical Palm terbentuk pada 2015 untuk membawahi bisnis Cargill di bidang produksi minyak kelapa sawit.
Berkantor pusat di Singapura dan memiliki hampir 18.000 karyawan. Dari total karyawan tersebut sebanyak 11% adalah pekerja perempuan dan merupakan pekerja dengan level supervisor tingkat 2 ke atas. Sementara untuk level manger 1 dan 2 mencapai 3,3%.
Kondisi ini terjadi lantaran Cargill telah berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat di tempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis. Lebih lanjut, Yunita mengatakan, mesti diakui bahwa di industri sawit Indonesia, kaum perempuan juga memiliki peran penting dalam kemajuan minyak sawit yang berkelanjutan.
Di Cargill Tropical Palm, hal ini terlihat dari banyaknya posisi penting yang diisi oleh karyawan perempuan seperti di tataran operational ada estate manager, operator mini tractor, loose fruit collector, agronomy team, field assistant, farmer development manager. Selain itu, pekerja perempuan juga ada di departemen pendukung, seperti environment, health and safety, dokter, sustainability manager, finance manager, komunikasi, government relations.
Sebab itu Cargill, berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan dalam industri kelapa sawit termasuk pemerintah, Gapki, RSPO, ISPO, LSM, para pekebun dan perusahaan lain. Perusahaan juga berupaya menciptakan tempat kerja yang inklusif dan beragam yang dapat mendorong potensi setiap karyawan.
“Cargill telah berupaya meningkatkan keberadaan perempuan yang terus bertambah di bidang perkebunan, menyediakan sumber daya bagi para calon karyawan dan memotivasi para perempuan yang sedang mempertimbangkan karir di industri ini,” kata Yunita.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan secara umum perempuan di perkebunan kelapa sawit seperti para istri dan anak perempuan petani sawit, buruh itu sendiri dan atau istri buruh, lantas perempuan di sekitar perkebunan. “Beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan (SW 2008),” kata Inda.
Lebih lanjut tutur Inda, sementara perempuan dalam kontruksi gender di perkebunan kelapa sawit bisa berupa pekerjaan domestik dianggap sebagai tugas bahkan kewajiban perempuan sebagai istri/ibu rumah tangga, juga berlaku bagi anak perempuan. Lantas di beberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang diperhitungkan dalam ekonomi nasional.
“Ketika perempuan/istri/ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga ‘sepertinya’ tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal,” kata Inda.
Untuk kasus buruh kebun perempuan, tutur Inda, pada umumnya perempuan hanya sebagai BHL (buruh harian lepas) sehingga tidak ada kontrak kerja dan gaji lebih kecil dari buruh tetap bekerja sesuai permintaan perusahaan. Umumnya pekerjaan berisiko tinggi (menyemprot, memupuk, membabat, melintring) terkadang pula tidak disediakan alat perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai, sehingga harus membawa sendiri. “Tidak ada asuransi kecelakaan kerja tidak ada pelayanan kesehatan. Tidak dapat bonus, THR (kecuali mencapai enam puluh hari kerja secara kontinyu hingga hari raya lebaran atau natal), dan lainnya,” kata Inda.
Bagi Rukaiyah Rafiq, dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok, pertama kelompok petani swadaya dari transmigran. Biasanya petani sawit perempuan ini memiliki lahan terbatas, hanya mengelola 2-3 ha lahan. Jika transmigrasi berkaitan dengan dengan perkebunan kelapa sawit, maka lahan mayoritas sudah menjadi kelapa sawit.
“Perempuan sebagai kepala keluarga ikut dalam mengelola kebun keluarga. Biasanya keterlibatan perempuan tersebut guna mengurangi biaya,” tutur Rukaiyah Rafiq yang biasa dipanggil Uki.
Sementara kelompok kedua yakni petani dari masyarakat lokal dengan kepemilikan lahan yang beragam, lantas kebun sawit bukan menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Sementara perempuan masih memiliki ruang sendiri, kebun karet, umo, dan pekarangan.
“Untuk kelompok ini peran perempuan biasanya hanya terbatas pada mengutip brondol dan nebas piringan, dan perempuan hanya bekerja jika lahan keluarga sekitar 2 ha. Bila di atas 2 ha biasanya petani memiliki pekerja. Intinya, kebun sawit dianggap memiliki resiko tinggi yang tidak cocok untuk perempuan,” kata Uki.
SN 09/Editor