Jaringan organisasi dan pemerhati buruh migran mendesak DPR membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sebagai payung hukum pekerja migran Indonesia (PMI)

(SPN News) Jakarta, Jaringan organisasi dan pemerhati buruh migran mendesak DPR membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Itu penting sebagai payung hukum pekerja migran Indonesia (PMI). Tanpa regulasi jelas, pelaku kekerasan seksual terhadap PMI tidak bisa ditindak.

Sekretaris Nasional (Seknas) Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani, menilai masalah kekerasan seksual seperti gunung es. Meski jumlah dilaporkan tidak sebesar kasus ketenagakerjaan dialami PMI seperti gaji tidak dibayar, PHK sepihak, tidak berdokumen dan overstay atau kasus pidana lainnya, dampak yang dialami korban sangat luas. Tidak hanya bagi PMI, tetapi juga keluarga, anak-anak PMI.

Baca juga:  PERINGATI HARI ANTI NARKOBA DENGAN DONOR DARAH

”Karena di dalam RUU P-KS ini terdapat perlindungan spesifik yang tidak dimandatkan dalam UU PMI. Misalnya korban mengalami pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, hingga penyiksaan seksual,” tutur Savitri, di Jakarta, (18/5).

Hampir tiga tahun RUU P-KS masuk ke Prolegnas DPR 2015-2019. Namun belum dibahas secara simultan. Alasannya, sejumlah anggota DPR masih resisten untuk membahas RUU PKS tersebut.

Hal senada diungkap Direktur LBH FAS Felixson. Felix mengaku dari data kasus yang dialami PMI, mekanisme penanganan kasus diskrimininasi dan kekerasan dialami perempuan pekerja migran sering kali tidak diselesaikan secara tuntas. ”Penyelesaiannya lebih menggunakan mekanisme kekeluargaan. Efeknya, kerapkali pelakunya bebas dari sanksi hukum,” tegas Felix.

Baca juga:  DIANGGAP CACAT FORMIL DAN SUBTANSI, WAJAR BILA RUU MINERBA DIGUGAT BANYAK PIHAK

Berdasar catatan Komnas Perempuan, pekerja migran perempuan, merupakan salah satu kelompok paling rentan berpotensi mengalami kekerasan seksual dalam tiga tahapan migrasi, baik masa pra pemberangkatan, masa bekerja, maupun kepulangan.

Bahkan menurut data Migrant CARE pada 2017, setidaknya 84 persen kasus masuk dialami perempuan PMI. Seperti perdagangan orang, kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji. Itu menegaskan pekerja migran perempuan rentan menjadi objek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi tidak aman.

Shanto dikutip dari Indopos.co.id/Editor