Ilustrasi
Pekerja kantoran terlihat tidak perduli dengan adanya RUU Omnimbus Law Cipta Kerja
(SPN News) Jakarta, Pekerja kantoran terlihat masa bodoh dalam menyikapi RUU Cipta Kerja. Alasannya karena ada yang menganggap RUU itu hanya berdampak ke buruh manufaktur, lalu karena tak ada wadah untuk bersuara, dan memang karena ada yang tidak peduli.
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja memunculkan penolakan yang berujung aksi demonstrasi di kalangan kelompok pekerja ‘kerah biru’ atau yang bekerja di sektor manufaktur. Di sisi lain, belum terlihat ada reaksi dari pekerja kerah putih atau kantoran, yaitu pekerja terdidik. Padahal, jika RUU itu disahkan, semua jenis dan kelas pekerjaan akan terdampak langsung.
Dikutip dari BBC News Indonesia mewawancarai beberapa pekerja ‘kantoran’ terkait pandangannya mengenai RUU Cipta Kerja.
Susi, pekerja perbankan nasional, mengungkap tidak ingin tahu tentang RUU Cipta Kerja dan dampaknya. Ia hanya pernah mendengar dari teman kerja bahwa “mau ada peraturan kerja pertiga tahun, sudah itu selesai, jadi tidak ada jaminan apa-apa,” katanya. Ia pun cuek saja usai mendengar selentingan kabar tersebut dan tidak ingin mencari tahu. Sikap cuek Susi akibat dari pengalaman masa lalunya yang dipecat oleh perusahaan nasional besar padahal statusnya sudah sebagai karyawan tetap. Perusahaan, katanya, melakukan pemecatan dengan alasan efisiensi.
“Katanya mau efisiensi. Divisi saya akan diperkecil. Tapi ujung-ujungnya itu alasan saja karea dia juga mencari penganti saya. Cuma posisi saya diganti jadi kontrak, bukan lagi tetap,” ujar Susi.
Saat ditanya langkah apa yang ditempuh atas keputusan pemecatan itu, Susi menjawab “males ribut, cari kerja lagi saja, walaupun saya tahu itu sebenarnya bisa diperjuangkan.”
Susi mengungkapkan posisi pekerja di Indonesia sangat lemah. “Kasarnya, tidak usah loyal 100% ke perusahaan, kalau ada kesempatan go head lah, sekarang kerja di atas lima tahun saja sudah bagus.”
Berbeda dengan Susi, pekerja swasta lain di Jakarta, Citra menyadari jika RUU Cipta Kerja akan menciptakan ketidakpastian atas pekerjaannya.
“Saya kan masih kontrak, jadi ada peluang bagi perusahaan lebih sewenang-wenang atas kontrak saya, jadi tidak memberikan kepastian bagi pekerja seperti saya,” kata Citra. Citra berkata mau bergerak dan bersuara untuk menolak RUU Cipta Kerja untuk disahkan. “Tapi masalahnya, saya tidak tahu dimana saya bisa bersuara karena di tempat saya kerja tidak ada wadah untuk berserikat,” katanya.
Saat ditanya mengapa pekerja kantoran cenderung pasif atas RUU ini, menurut Citra karena “selain tidak adanya wadah untuk bersuara, semakin tinggi level pekerjaan dan ekonomi maka semakin individualis. Itu yang saya lihat di lingkungan saya,” katanya.
Susi dan Citra adalah sedikit cerminan sikap pekerja kantoran yang disebut Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarahendy “cenderung diam” dalam menyikapi RUU Cipta Kerja.
Menurut Ellena sikap diam dari pekerja kantoran disebabkan karena mereka merasa RUU Cipta Kerja hanya akan berdampak pada pekerja manufaktur. “Padahal, sebenarnya ke semua lini jenis pekerjaan, termasuk kerja kantoran,” kata Ellena.
“Teman-teman kelas menengah yang upah di atas Rp 5 juta merasa aman dan diam saja. Tapi setelah RUU ini disahkan, posisinya akan sangat terancam,” katanya.
SN 09/Editor