Foto Peringatan May Day 2023

Kerja Hanya 8 Jam Sehari Hasil Demo MayDay

“Itu buruh demo apa sih om?,” tanya temanku, PNS di kampung PLT via telpon.

“Yaaa… Biasa, menuntut kesejahteraan pekerja,” jawabku rada sumeh.

“Laaah, paling juga minta naik gaji. Minta upah dinaikin,” tuding temenku itu.

“Ya kan hak mereka minta naik upah,” jelas daku.

“Hak sih hak. Tapi saya juga punya hak sebagai pengguna jalan. Gara-gara demo, jalan macet. Saya mau pulang cepet, jadi tertunda,” kata temenku itu.

“Hak demo itu lebih tinggi dari hak pengguna jalan. Kecuali Damkar, ambulance dan lainnya seperti diatur undang-undang,” terang daku.

“Tapi kan hak saya jadi terganggu. Macet,” temenku ngotot.

“Kalau itu, salahkan polisi,” bantahku.

“Kok polisi disalahin. Kan yang demo buruh. Yang bikin macet buruh,” makin nyolot aja temenku itu.

“Demo itu enggak tiba-tiba, gadis cantik. 3 hari sebelum demo, pendemo harus sudah menyampaikan surat pemberitahuan ke polisi. Disertai data jumlah peserta demo. Titik kumpul. Rute menuju tempat demo. Berapa jumlah kendaraan. Alat peraga demonya apa saja,” papar daku.

Lalu kulanjutkan, bahwa setelah menerima surat pemberitahuan, seharusnya polisi melakukan persiapan antisipasi. Dihitung jumlah pendemo, kendaraan dan rute demo hingga lamanya demo.

Jika dihitung bakal mengganggu arus lalu lintas atau diperkirakan bakalan macet, polisi harus merancang pengalihan arus. Bahkan bisa jadi harus melakukan penutupan jalan. Pengalihan arus ini harus diumumkan ke masyarakat.

“Apakah persiapan itu dilakukan dengan benar oleh polisi? Daku ragu. Terutama jika peserta demo cuma ratusan. Demo buruh yang ribuan saja, tidak ada pengumuman pengalihan arus. Sudah macet parah, baru dah,” jelas daku.

“Aaah, pokoknya gara-gara demo buruh jadi macet. Jadi telat pulang saya,” ujar temenku itu tak bergeming tetap menyalahkan buruh.

Baca juga:  KALEIDOSKOP SPN AGUSTUS 2017

Belakangan, ketidaksukaan akan demo buruh, kadangkala mencuit di media sosial. Atau mencuit langsung ke kupingku, seperti temenku itu.

Padahal, kenyamanan kita saat ini, bekerja hanya 8 jam sehari; berangkat jam 8, pulang jam 14; sehingga punya waktu yang sangat cukup untuk istirahat; Sabtu-Minggu libur, sehingga punya waktu buat keluarga; karena ratusan buruh yang ditembak mati saat demo. 8 pemimpin buruh dihukum gantung.

Dulu, rata-rata sehari 19-20 jam kerja di pabrik-pabrik dan tambang-tambang. Sedangkan di perkantoran juga tak jauh, bisa lebih dari 12 jam kerja sehari. Kebayang bukan. Tersisa hanya 4-5 jam sehari. Buat istirahat saja tidak cukup. Libur hanya hari Minggu. Tentunya dipakai istirahat, waktu buat keluarga sudah tak ada.

Persoalan jam kerja ini jadi viral di antara buruh/pekerja. Jadi bahan diskusi hingga gosip. Lalu merebak jadi persoalan dunia.

1806

Buruh Cordwainers, Amerika mogok menuntut pengurangan jam kerja. Koordinator demo malah disidang.

1866

National Labour Union, Amerika menetapkan 8 jam kerja sehari menjadi tuntutan bersama buruh se Amerika.

1866

Kongres Buruh International pertama di Jenewa, Swiss menetapkan 8 jam kerja sehari menjadi tuntutan buruh se dunia.

1872

100 ribu buruh demo menuntut pengurangan jam kerja di New Jersey, Amerika.

1882

20 ribu buruh aksi damai. Parade membentangkan spanduk 8 Jam Kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi di New York.

1884

Federation of Organized Trades and Labour Union menjadikan 8 jam kerja tuntutan utama.

1 Mei 1886

Sekitar 400 ribu buruh di Amerika memulai aksi mogok. Di antaranya 50 ribu di Chicago. Akibatnya, pabrik-pabrik lumpuh tidak dapat berproduksi.

2 Mei 1886

80 ribu buruh Chicago melanjutkan aksi mogok. Kelumpuhan pabrik-pabrik di Chicago berlanjut.

3 Mei 1886

Polisi mendatangi pabrik McCormick, Chicago untuk mengatasi aksi mogok. Ternyata dengan cara menumpahkan peluru ke peserta demo. 4 buruh tewas seketika. Ratusan luka-luka. Aksi mogok bubar.

Baca juga:  KONSOLIDASI TERINTEGRASI MELALUI KUNJUNGAN KERJA DPD SPN PROVINSI BANTEN

4 Mei 1886

Mensikapi aksi brondong peluru di pabrik McCormick, buruh berkumpul di lapangan Haymarket, Chicago. Sayang cuaca berubah buruk. Sebagian besar buruh bubar. Tertinggal sekitar 200 orang.

Polisi memerintahkan pendemo bubar. Saat mau bubar, tiba-tiba bom meletus di barisan polisi. Satu orang tewas dan puluhan luka-luka. Polisi mengamuk. Pendemo dibrondong habis. Puluhan buruh tewas, sisanya terluka.

Lalu polisi menggeledah sekretariat serikat-serikat pekerja, rumah-rumah aktivitis buruh dan tokoh gerakan sosialis. Mereka ditangkap. Di antaranya August Spies, Albert Parson, Adolph Fischer, George Engel, Fielden, Michael Scwab, Louis Lingg dan Oscar Neebe.

21 Juni 1886

Tanpa bukti yang kuat, ke 8 pemimpin buruh  itu dijatuhi hukuman mati.

11 Nopember 1887

Pelaksanaan hukuman mati atas Albert Parson, August Spies, Adolf Fischer dan Goerge Engel dengan cara digantung. Louise Lingg sudah gantung diri di penjara.

Juni 1889

Kongres Buruh Internasional kedua di Paris menetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Pekerja yang kemudian dikenal sebagai MayDay. Hari memperingati para martir di Haymarket, Chicago. Dan ditetapkan bendera merah sebagai bendera buruh. Merah darah yang ditumpahkan dalam memperjuangkan hak buruh.

Juni 1893

Fielden, Michael Scwab dan Oscar Neebe dibebaskan dari penjara dengan status tidak bersalah.

So… tanpa ada demo buruh. Tanpa ada darah buruh yang mengalir. Tanpa ada nyawa buruh yang dibrondong peluru. Tanpa ada buruh yang dihukum gantung… logikanya, kita bakalan kerja sehari 19-20 jam kerja. Dan tentunya tak ada standar upah.

Kebayang itu PNS kerja 19-20 jam sehari. Puguh 8 jam sehari aja, masuk telat-pulang cepet. Belum lagi bolos titip absen.

Membenci demo buruh itu sama saja dengan orang yang tidak tahu berterima-kasih.

Oetjoe Nur Djauhar/Editor