(SPNEWS) Poso, (26 Oktober 2023) Sidang kriminalisasi pembela HAM, dua orang Buruh PT. GNI sekaligus Pimpinan Serikat PSP SPN PT. GNI, yang diadili dalam berkas perkara terpisah Nomor: 201/Pid.B/2023/PN/Pso atas nama Terdakwa Amirullah dan Nomor: 201/Pid.B/2023/PN/Pso atas nama Terdakwa Minggu Bulu kembali digelar di Pengadilan Negeri Poso. Sidang berlangsung secara online dengan agenda pembacaan nota pembelaan (Pledoi) dari Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR). Sidang berlangsung dimulai pada sekitar 15.30 dan berlangsung selama satu jam.
Sebelumnya dalam sidang Tuntutan JPU menuntut kedua Amirullah dan Minggu Bulu terbukti bersalah melakukan tindak pidana penghasutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 Jo melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan pidana penjara selama 4 (empat ) Tahun.
Dalam nota pembelaan Tim Penasihat Hukum yang berjudul “Membela Hak Pekerja Bukan Kejahatan” meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara membebaskan terdakwa dari segala dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
“Berdasarkan fakta-fakta persidangan tidak ada satupun saksi-saksi maupun alat bukti lainnya yang menunjukkan Para Terdakwa melakukan penghasutan baik lisan maupun tulisan yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan pada 14 Januari 2023 sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan,” ujar Abdul Azis Dumpa penasehat hukum Terdakwa.
JPU berkesimpulan bahwa Para terdakwa melakukan penghasutan kepada massa karyawan yang mengikuti aksi mogok kerja berujung pada aksi pengrusakan, penjarahan, pembakaran Mess TKA, pengrusakan beberapa armada milik PT GNI dan timbulnya korban jiwa sejumlah 2 (dua) orang, masing-masing 1 (satu) orang TKA asal China serta 1 (satu) orang karyawan lokal. Sementara berdasarkan fakta persidangan Mogok kerja pada tanggal 14 Januari 2023 hanya dilakukan hingga sekitar Pukul 17.00 dan ditutup bersama Polres Morowali Utara. Sedangkan kerusuhan pekerja yang mengakibatkan pengrusakan dan pembakaran fasilitas PT. GNI terjadi di malam hari atau sekitar pukul 21.00 Wita.
Selain itu, peristiwa kerusuhan pada malam hari Tanggal 14 Januari 2023 di PT. GNI, telah diadili dalam perkara Nomor : 125/Pid.B/2023/PN Pso di mana 15 orang Terdakwa diputus terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang- terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan barang atau terhadap orang, dan kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga jika
Terdakwa dianggap menghasut maka orang yang dihasut adalah Para Terdakwa dalam perkara pidana nomor: 125/Pid.B/2023/PN Pso. sementara mereka tidak dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan.
“Dalam proses pembuktian tidak satupun dari para Terdakwa perkara pidana nomor: 125/Pid.B/2023/PN Pso a quo hadir memberikan keterangan sebagai saksi sebagai orang yang dihasut. Padahal mereka juga adalah saksi BAP Kepolisian. Kami menduga JPU sengaja tidak menghadirkan karena berdasarkan putusan perkara tersebut mereka menerangkan melakukan kekerasan dan pengrusakan karena spontanitas. Tidak ada hubungannya dengan Terdakwa Amirullah Alias Ulla dan Minggu Bulu maupun mogok kerja,” jelasnya
Bahwa dalam membuktikan dakwaannya JPU mengajukan 21 Alat Bukti baik berupa surat dan video. Bahwa dari bukti-bukti yang diajukan JPU justru menghadirkan bukti-bukti yang tidak relevan dengan perkara oleh karena bukti-bukti tersebut layaknya bukti dalam perkara hubungan industrial sehingga terkesan Jaksa penuntut umum mewakili kepentingan PT. GNI dalam Perkara hubungan industrial dengan pekerja padahal persoalan yang diadili adalah persoalan pidana.
JPU tidak menghadirkan sama sekali alat bukti baik saksi, surat dan bukti lainnya yang dapat mendukung dalil dakwaannya, di mana dalam dakwaan JPU mendalilkan adanya kerugian PT. GNI senilai kurang lebih Rp.52.000.000 (lima puluh dua milyar rupiah), korban jiwa 1 (satu) orang tenaga kerja asal china dan 1 (satu) Warga negara Indonesia serta beberapa orang mengalami luka, baik dari pihak karyawan lokal maupun tenaga kerja Asing Asal China namun dalam proses pembuktian tidak ada satupun yang mendukung dalil tersebut, seperti tidak ada bukti terkait kerugian yang dimaksud dan juga kebenaran terkait adanya pekerja
yang meninggal dunia akibat kerusuhan.
“JPU melampirkan surat-surat organisasi serikat pekerja PSP PT. GNI dan SPN yang kemudian dikaitkan dan dijadikan sebagai alat bukti tindak pidana. Menunjukkan cara berpikir JPU yang mendudukan posisi Serikat Pekerja Perusahaan di hadapan hukum sebagai layaknya organisasi terlarang, padahal bukti-bukti tersebut justru menunjukkan bahwa Para Terdakwa sebagai anggota serikat pekerja beritikad baik oleh karena memenuhi ketentuan perundang-undangan secara administratif, maupun dalam melakukan aktivitas-aktivitas dalam berserikat seperti membuat surat dalam mogok kerja ataupun unjuk rasa,” lanjut Abdul Azis Dumpa
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Nasional, melalui PSP SPN PT. GNI yang dipimpin oleh Minggu Buku dan Amirullah sudah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Saksi yang hadir juga menerangkan bahwa dalam proses menuntut hak pekerja dalam hal ini Serikat Pekerja SPN telah menyampaikan pemberitahuan kepada pihak terkait melalui surat Nomor : B.015/PSP-SPN/PT.GNI/XII/2023 Tanggal 07 Januari 2023 Perihal Pemberitahuan Aksi/ Unjuk Rasa Damai. Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa serikat pekerja akan melakukan aksi di PT. GNI pada tanggal 11, 12, 13 dan tanggal 14 Januari 2023. Bahkan surat tersebut dijadikan bukti oleh JPU.
Kekeliruan dari JPU terletak pada JPU tidak bisa memisahkan Mogok Kerja yang merupakan hak pekerja yang dijamin dan dilindungi oleh undang undang begitupun hak menyampaikan pendapat di muka umum ( demonstrasi ) sebagai Hak konstitusional. Jika terjadi tindak pidana dalam proses mogok kerja dan/atau demonstrasi yang dilakukan maka seseorang diadili bukan karena melakukan mogok kerja atau demonstrasi melainkan diadili karena melakukan tindak pidana apakah itu kekerasan, pengrusakan dan penganiayaan atau tindak pidana lainnya. Sehingga harus dipisahkan antara mogok kerja dan/atau demonstrasi yang merupakan hak konstitusional warga negara yang dilindungi undang undang dengan perbuatan yang diancam pidana.
“Adanya surat pemberitahuan aksi merupakan bukti bahwa Terdakwa dan PSP SPN PT GNI telah melakukan tuntutan pemenuhan dan perlindungan Hak-hak pekerja dengan itikad baik dan menyampaikan pemberitahuan aksi damai sesuai dengan prosedur dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga menuntut aktivitas mogok kerja ataupun demonstrasi sebagai perbuatan penghasutan, jelas merupakan tindakan kriminalisasi dan pemberangusan paksa terhadap serikat pekerja/buruh (union busting),” tutup Abdul Azis Dumpa
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa kedua Terdakwa merupakan buruh di PT. GNI sekaligus Pembela HAM. Bahwa Sejak berdirinya perusahaan Smelter (pemurnian) PT. GNI di Morowali Utara, Sulawesi tengah menimbulkan berbagai masalah termasuk persoalan ketenagakerjaan. Seperti pelanggaran Hak-hak normatif pekerja, pemotongan upah secara sewenang-wenang, PHK sepihak, serta tidak diterapkannya Prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) seperti tidak menyediakan alat perlindungan diri (APD) lengkap sesuai standarisasi, jenis dan risiko kerja. Buruknya persoalan K3 bahkan telah mengakibatkan puluhan buruh meninggal akibat berbagai kecelakaan kerja.
Puji Santoso selaku Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN), membenarkan bahwa aksi yang dilakukan oleh Serikat SPN adalah berdasarkan dari kondisi kerja di PT. GNI yang sangat tidak manusiawi.
“Aksi yang dilakukan kawan-kawan Pekerja PT. GNI itu bukan tanpa dasar konstitusional, aksi terpaksa dilakukan karena Pengusaha PT. GNI itu bebal dan arogan serta tidak taat pada peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, khususnya tentang Ketenagakerjaan. Puluhan nyawa Pekerja melayang karena kecelakaan kerja namun Pengusaha PT. GNI tidak memperlakukan dengan tanggung jawab yang layak terhadap para korban dan keluarganya.” Ujar Puji Santoso selaku Ketua DPP SPN
“Pemerintah Daerah maupun Pusat maupun Pengawas Ketenagakerjaan terkesan buta dan tuli atas kasus kemanusiaan akibat perbuatan kejahatan ketenagakerjaan di PT. GNI, sistem perbudakan gaya baru dengan melakukan kontrak tanpa mengindahkan aturan, tidak adanya Alat Pelindung Diri yang layak sesuai dengan norma K3, anti Serikat Pekerja dan praktik-praktik Union Busting itu dilakukan disana. Upaya-upaya Bipartit tidak pernah mendapat respon yang baik dari Pengusaha PT. GNI,” lanjutnya.
“Hal tersebutlah yang menjadikan dasar keterpaksaan kawan-kawan melakukan demonstrasi, terlebih sekarang mereka difitnah dengan keji sebagai penghasut, ini adalah perbuatan yang zalim kepada sesama manusia,” ujar Puji.
Amirullah dan Minggu Bulu adalah Pembela HAM karena memperjuangkan pemenuhan dan perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam hal ini hak-hak Pekerja. Sehingga sejak awal seharusnya mendapatkan Jaminan perlindungan terhadap segala risiko atas aktivitas pembelaan yang dilakukan , termasuk imunitas terhadap risiko tuntutan hukum,. Karena ketika hak-hak pembela HAM dilanggar, semua hak-hak kita diletakkan dalam bahaya dan kita semua akan tidak aman dari ancaman pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan.
Berdasarkan seluruh dalil-dalil dalam nota pembelaan Tim Penasihat Hukum Terdakwa meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Poso yang memeriksa dan mengadili perkara menjatuhkan putusan:
- Menyatakan Terdakwa Amirullah dan Terdakwa Minggu Bulu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama bersalah melakukan tindak pidana Penghasutan sebagaimana Dakwaan Pertama;
- Menyatakan oleh karena itu membebaskan atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa Amirullah dan Terdakwa Minggu Bulu dari segala dakwaan dan
- Mengeluarkan Terdakwa Amirullah dan Terdakwa Minggu Bulu dari tahanan seketika setelah Putusan ini dibacakan;
- Memulihkan hak-hak Terdakwa Amirullah dan terdakwa Minggu Bulu tersebut dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya;
- Membebankan biaya perkara yang timbul kepada
Sidang lanjutan akan dilaksanakan pada tanggal 2 Oktober 2023 dengan agenda Pembacaan Putusan.
SN 09/Editor