Ilustrasi Pekerja Perempuan
(SPNEWS) Jakarta, Penciptaan lapangan kerja perlu diiringi dengan upaya untuk terus memperkuat pelindungan bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Perlindungan tersebut termasuk bagi para perempuan pekerja. Di mana para perempuan yang hingga saat ini adalah makhluk yang sangat rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan, baik di sektor formal maupun informal.
Upaya pelindungan itu juga merupakan mandat konstitusi pada tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2022 terdapat 112 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pekerja yang diadukan ke Komnas Perempuan.
Sebanyak 58 di antaranya adalah oleh majikan, termasuk 4 di antaranya merupakan perempuan pekerja rumah tangga. Juga ada sebanyak 11 kasus yang dilakukan perusahaan dan 43 kasus yang dilakukan oleh rekan kerja.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan juga mencatatkan adanya 93 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja dan 859 kasus terkait Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Pada kasus yang mereka adukan langsung ke Komnas Perempuan, sebagian besar adalah kasus terkait kekerasan seksual. Termasuk kasus kesulitan mengakses hak kesehatan reproduksi dan maternitas perempuan pekerja.
Pengalaman pada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik perempuan pekerja. Sehingga menghalanginya untuk bekerja secara optimal atau bahkan menyebabkannya kehilangan pekerjaan.
“Pembahasan dan pengesahan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga juga penting menjadi prioritas DPR dan Pemerintah. Pada sidang berikutnya sebagai langkah sungguh-sungguh untuk meneguhkan K3,” jelas Andy Yentriyani, ketua Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa hingga saat ini belum ada payung hukumnya. Terutama untuk dapat menjangkau sektor pekerja rumah tangga yang mayoritasnya adalah perempuan.
SN 09/Editor