Gambar Ilustrasi

KPK menyebutkan bahwa penyimpangan (fraud) yang menjadi masalah BPJS Kesehatan, sehingga kenaikan iuran tanpa ada perbaikan tata kelola tidak akan menyelesaikan masalah.

(SPN News) Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memberikan rekomendasi sebelum Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Namun, rekomendasi tersebut rupanya tidak diindahkan dan memilih mengerek iuran peserta.

Salah satu rekomendasi itu adalah meminta perbaikan pengelolaan BPJS Kesehatan. Apabila hal itu diperbaiki sebenarnya tidak perlu ada kenaikan iuran pada peserta. Pertimbangan serupa disampaikan oleh Mahkamah Agung ketika membatalkan kenaikan iuran sebelumnya.

Mengutip dari keputusan MA, pembatalan kenaikan iuran itu karena buruknya pengelolaan Jaminan Sosial Nasional (JSN), baik itu dalam perumusan kebijakan dan sinkronisasi penyelenggaraan. MA juga menyoroti masalah pengelolaan JSN oleh BPJS yang dinilai tidak tepat. Secara tegas MA menyebut ada kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan serta pelaksanaan program tersebut. Dengan pertimbangan itu, MA melansir putusan Nomor 7 P/HUM/2020 tentang Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan pada pengujung Maret 2020.

Baca juga:  KOPERASI SEBAGAI SARANA UNTUK MENSEJAHTERAKAN PEKERJA

Namun, kabar baik itu tak bertahan lama. Hanya sebulan lebih lima hari. Tiba-tiba pemerintah merilis Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5) itu mengembalikan kenaikan iuran BPJS yang telah dianulir oleh MA.

SN 09/Editor