Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah ditetapkan, yang mana UU tersebut telah mengubah dan/atau menghapus beberapa ketentuan mengenai upah minimum dan penangguhannya yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pasal 81 angka 68 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf a UU Ketenagakerjaan mengatur “Untuk pertama kali upah minimum yang berlaku, yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan”.

Sehingga, untuk saat ini upah minimum yang berlaku tetap didasarkan kepada peraturan pelaksana UU Ketenagakerjaan yang sudah ada sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja. Upah Minimum Kota/Kabupaten diasumsikan sebagai upah minimum yang berlaku di dalam wilayah 1 kabupaten/kota.

Adapun upah minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. UMK dapat ditetapkan oleh gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. Penetapan UMK juga dilakukan dengan syarat tertentu yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

Baca juga:  PPKM 4 JILID II PABRIK BERORIENTASI EKSPOR BOLEH BEROPERASI 100 PERSEN

Penting untuk dicatat, besaran UMK harus lebih tinggi daripada upah minimum provinsi yang ditetapkan oleh gubernur. Selain itu, upah minimum baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan[8]. Upah pekerja/buruh dengan masa kerja 1 tahun atau lebih harus di atas upah minimum.

Pada dasarnya, setiap pengusaha dilarang membayar upah pekerjanya lebih rendah dari upah minimum. Bagi Pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut, Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana sebagai berikut: “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)”.

Baca juga:  ADA TUJUH PASAL BERMASALAH DALAM RUU CIPTA KERJA MENURUT AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA

Perlu diketahui bahwa sebelum UU Cipta Kerja diundangkan, Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa terhadap pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat diberikan kelonggaran untuk melakukan penangguhan. Namun, pasal tersebut telah dihapus, sehingga pengaturan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum sudah tidak berlaku lagi.

Meski demikian UU Cipta Kerja membuat pengecualian perihal upah minimum bagi usaha mikro dan kecil, yang upahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan dengan ketentuan sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Ketentuan Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (6) UU Ketenagakerjaan mengatur denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah sebagai berikut “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh”.

Jadi kesimpulannya pengusaha tidak dapat melakukan penangguhan pembayaran upah minimum karena ketentuan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai penangguhan pembayaran upah minimum telah dihapus.

SN 09/Editor