Foto Istimewa

(SPNEWS) Bagian ini akan menjelaskan empat hal: pertama, menyoal klausula baku dalam perjanjian kerja yang dilakukan oleh PT Sai Apparel Industries Grobogan; Kedua, minimnya perlindungan hukum di tempat kerja sebagai konsekuensi dari isi perjanjian kerja yang tidak setara; ketiga, kesalahan klasifikasi (misclassification) yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga berdampak terhadap status kerja buruh menjadi PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu); Keempat, mengenai salinan kontrak kerja yang tidak diberikan kepada buruh atau dibuat dalam dua rangkap.

Para pengurus, anggota SP SPRING (Serikat Pekerja Sai Apparel Industries Grobogan), dan ribuan buruh lainnya yang bekerja di PT Sai Apparel Industries Grobogan, rata-rata berstatus sebagai buruh kontrak atau terikat dalam PKWT (Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu). Mereka dikontrak dengan jangka waktu kerja yang beragam: 3 bulan, 6 bulan, sampai dengan 1 tahun.

Dalam dokumen kontrak kerja yang telah ditandatangani para buruh PT SAI Apparel ditemukan berbagai kejanggalan. Hal ini berdampak tidak hanya terhadap hubungan kerja, namun juga kepada pengurangan hak-hak buruh di tempat kerja.

Perjanjian Baku yang Ditetapkan Sepihak oleh Perusahaan
Klausula baku dalam perjanjian dapat menimbulkan banyak permasalahan, terutama kepada pihak buruh yang seringkali dianggap pihak yang lemah dalam menentukan pembuatan perjanjian. Klausula baku dalam perjanjian dianggap melanggar asas konsensualisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 1338 dan pasal 1320 KUH (Kitab Undang-Undang Hukum) Perdata ((Hukumonline.com, 11 Februari 2022).

Menurut Subekti (1992), bahwa pelanggaran terhadap ketentuan asas konsensualisme sebagaimana diatur dalam KUH Perdata akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Begitu pula menurut Enggens yang mengatakan, kebebasan kehendak di dalam perjanjian adalah tuntutan kesusilaan. Sehingga, pelanggaran terhadap asas kebebasan berkontrak dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan (Subekti, 1992).

Surat Perjanjian atau perjanjian bernama khusus yang diatur diluar KUH Perdata seperti perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan, mengenai syarat-syaratnya masih mengacu pada persyaratan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa syarat sahnya perjanjian terdiri dari:

sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu objek tertentu; dan
suatu kausa yang halal/diperbolehkan.
Demikian pula syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja, juga masih mengacu pada ketentuan tersebut. Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUK 13/2003) ditentukan bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar:

kesepakatan kedua belah pihak;
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam dokumen perjanjian kerja, setidaknya harus mencantumkan beberapa poin agar bisa disebut sebagai perjanjian kerja yang sah. Pasal 54 UUK 13/2003 menyebutkan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:

nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
jabatan atau jenis pekerjaan;
tempat pekerjaan;
besarnya upah dan cara pembayarannya;
syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Dalam dokumen perjanjian kerja yang dimiliki oleh buruh PT Sai Apparel Industries Grobogan terdapat hal-hal yang tidak dideskripsikan. Khususnya, dalam pasal-pasal yang memuat tentang hak dan kewajiban buruh di tempat kerja, seperti ketentuan tentang waktu kerja lembur, pembayaran upah pokok dan upah lembur, alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan fasilitas kerja yang kurang memadai. Dengan kata lain, semuanya merupakan hal yang minim diatur dalam perjanjian dan berpotensi untuk terjadinya pelanggaran lainnya. Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

Jika dihubungkan dengan konteks syarat sahnya perjanjian, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 52 UUK 13/2003, sebuah perjanjian dianggap sah, apabila isi perjanjian tidak bertentangan dengan: ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, dalam kasus PT Sai Apparel Industries Grobogan pembuatan perjanjian kerja tidak memenuhi syarat sah perjanjian dalam KUH Perdata. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa klausul perjanjian yang tidak menyebutkan secara terperinci tentang akibat hukum dari pasal-pasal yang dimuat dalam perjanjian. Konsekuensi jika syarat obyektif dari perjanjian tersebut tidak dipenuhi maka seharusnya perjanjian batal demi hukum.

Dalam pasal yang membahas tentang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), tidak disebutkan secara lengkap mengenai alasan buruh dapat di-PHK oleh perusahaan. Sementara, dalam dokumen perjanjian (kontrak kerja), hanya disebutkan sebagian saja yang dianggap menguntungkan perusahaan, seperti tidak diaturnya mekanisme keberatan dalam kontrak ketika buruh tidak menerima PHK yang dilakukan sepihak oleh perusahaan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021). Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat 1 kontrak kerja, perusahaan juga menghindari pembayaran pesangon atau uang kompensasi di luar aturan pengupahan untuk buruh yang mengalami PHK.

PT Sai Apparel memang memiliki Peraturan Perusahaan (PP), dalam dokumen tersebut perihal ketentuan mengenai tata cara dan pemberian uang pesangon setelah PHK, memang diatur dan disesuaikan dengan ketentuan dalam PP 35/2021. Tapi, dokumen PP membedakan antara pemberian pesangon dan kompensasi kepada buruh status kerja tetap (PKWTT/Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu) dan kontrak (PKWT/Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu) yang terkena PHK atau mengundurkan diri. Sementara, mayoritas dari buruh PT Sai Apparel Industries Grobogan dipekerjakan secara PKWT. Sehingga para buruh tidak menerima haknya secara adil. Padahal beban kerja dan tanggung jawab yang melekat dalam sifat dan jenis pekerjaan para buruh PT Sai Apparel tidak sesuai dengan buruh yang dipekerjakan secara PKWT.

Ketentuan lain seperti hal yang disebutkan dalam pasal 153 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), yakni mengenai alasan larangan yang menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK kepada buruh, juga tidak disebutkan dengan jelas. Begitu pula mengenai ketentuan larangan PHK terhadap buruh dalam kondisi: hamil, buruh yang sedang menikah, atau buruh yang sedang dalam keadaan sakit, juga tidak dijelaskan dalam dokumen perjanjian. Ketiadaan aturan memberikan peluang kepada pengusaha untuk melakukan tindakan PHK sepihak tanpa dasar hukum.

Minimnya Hak Buruh yang Dicantumkan Dalam Klausul Perjanjian
Sebelumnya telah dibahas mengenai keabsahan perjanjian kerja di PT SAI Apparel Industries Grobogan. Pada bagian sebelumnya telah dibahas tentang kontrak kerja yang dibuat, tidak mencantumkan hak-hak buruh dalam klausul perjanjian kerja secara lengkap. Berdasarkan pada temuan fakta maka perjanjian kerja di PT SAI Apparel Industries Grobogan tidak memenuhi syarat obyektif dari perjanjian. Dengan begitu, perjanjian kerja yang dibuat adalah batal demi hukum.

Pada prinsipnya buruh yang bekerja di perusahaan harus mendapatkan perlindungan yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan, rasa aman, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO mengenai hak-hak dasar perburuhan, di antaranya: Kebebasan Berserikat dan Hak untuk Berunding Bersama (Konvensi ILO 87 dan 98); Penghapusan Kerja Paksa (Konvensi ILO 29 dan 105); Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (Konvensi ILO 100 dan 111); dan Penghapusan Pekerja Anak (Konvensi ILO: 138 dan 182).

Seharusnya dalam dokumen perjanjian kerja mengatur tentang hak-hak normatif yang melindungi buruh di tempat kerja. Meskipun, dalam praktiknya perjanjian kerja akan dibakukan sendiri oleh perusahaan. Selain dokumen perjanjian kerja tidak diberikan dalam format surat yang baku, substansi perjanjian cenderung membatasi hak-hak buruh dan memperlemah posisi buruh. Sehingga, berpotensi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan di tempat kerja.

Beberapa temuan tersebut ditunjukkan, dari Pasal 2 Poin ke-2 yang membahas mengenai Tugas dan Tanggung Jawab, disebutkan: “Jika dipandang perlu, pihak pertama dapat menempatkan pihak kedua pada jabatan lain sesuai dengan kebutuhan perusahaan.” Ketentuan ini berpotensi menjadi masalah, karena sebelumnya dalam perjanjian ini disebutkan, bahwa buruh dipekerjakan dalam perusahaan menempati posisi tertentu. Sebagai contoh, buruh yang bekerja sebagai operator sewing dengan tugas dan tanggung jawabnya sudah jelas. Namun, di kemudian hari manajemen perusahaan mengubah peran kerja orang tersebut pada departemen finishing atau pergudangan. Alasan yang diberikan oleh pengusaha tentang perpindahan tersebut karena kebutuhan. Melalui contoh tersebut, praktik yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tidak dibenarkan menurut prinsip perjanjian pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 52 UUK No 13/2003, yang mana jika tidak ada kesepakatan perjanjian dapat dibatalkan.

Dampak lainnya atas pembakuan klausul dalam Pasal 2 Poin ke-2 perjanjian ini adalah perbuatan sewenang-wenang. Manajemen perusahaan bisa melakukan mutasi dan demosi secara sepihak. Padahal, kebijakan mutasi dan demosi sepihak bertentangan dengan pasal 28 Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000. Pasal tersebut menyebutkan, melarang perusahaan untuk melakukan PHK, mutasi, dan tidak membayarkan upah kepada buruh yang menjadi pengurus atau anggota serikat buruh dikarenakan melakukan kegiatan organisasi.

Baca juga:  PEMBERLAKUAN PPKM JAWA - BALI MENGKHAWATIRKAN PENGUSAHA MAL

Masalah lain yang ditemukan dalam perjanjian kerja PT Sai Apparel Industries Grobogan terdapat pada Pasal 4 tentang upah. Pada poin ke-5 dikatakan: “Pembayaran dilakukan secara transfer yang diberikan pada periode 1 (1 s/d 15 dibayarkan pada tanggal 19, 20, & 21) Periode II (16 s/d 30/31) dibayarkan pada tanggal 4, 5, dan 6).” Ketentuan dalam pasal tersebut menunjukkan, upah bulanan dibayar dengan cara dicicil sebanyak dua kali dalam satu bulan. Ketentuan pembayaran upah memang diubah sejak berlakunya UU Cipta Kerja dan PP 35/2021, yang pada intinya pembayaran upah dilakukan dengan atas dasar kesepakatan buruh dan perusahaan. Namun, perjanjian kerja antara perusahaan dan buruh di PT Sai Apparel Industries Grobogan tidak berlaku. Sebab, proses pembuatannya tidak dilakukan berdasarkan asas kesepakatan alias dilakukan secara sepihak. Jika kembali pada prinsip perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 52 UUK 13/2003 maka ketika tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak, dengan begitu perjanjian dapat dibatalkan.

Melalui dokumen perjanjian tersirat niat buruk PT Sai Apparel Industries Grobogan untuk mengeksploitasi buruhnya. Argumen ini ditunjukkan dalam pasal-pasal di dokumen perjanjian kerja.

Kali ini akan diperlihatkan tentang pemberian pesangon atau kompensasi kepada buruh yang terkena PHK. Dalam Poin 2 di pasal yang membahas mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), secara jelas disebutkan, perusahaan tidak akan membayarkan pesangon dan kompensasi kepada buruh dengan beberapa syarat. Pada poin C berbunyi: “…melakukan pelanggaran terhadap etika kerja, disiplin kerja, dan Peraturan Perusahaan”. Klausul pada Poin C berpotensi menimbulkan pelanggaran, yaitu keputusan melakukan PHK sepihak tanpa disertai pemberian pesangon atau kompensasi. Pihak perusahaan dapat membuat argumentasi mengada-ada untuk alasan terjadinya PHK, tanpa memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Penerapan Kontrak Kerja yang Melanggar Hukum
Sebagian besar buruh yang bekerja di PT Sai Apparel Industries Grobogan memiliki status kerja kontrak (PKWT). Mayoritas para buruh ini ditempatkan pada bagian produksi inti di departemen: cutting, sewing, mekanik dan finishing. Padahal, bila mengacu pada dokumen perjanjian kerja yang berlaku bahwa waktu kerja para buruh ditentukan selama 40 jam kerja dalam 1 minggu. Artinya, kurang lebih 8 jam per hari mereka bekerja. Tentu ketentuan 40 jam kerja belum termasuk waktu lembur dan jam kerja yang molor yang harus dilakukan. Dengan waktu kerja selama itu mereka memproduksi mengerjakan berbagai macam jenis pakaian dari brand-brand dunia seperti AEO dan H&M.

Di samping itu, secara umum, penerapan kerja kontrak oleh PT Sai Apparel telah melanggar ketentuan hukum Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 81 angka 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang saat ini telah diganti dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 junctoUU Nomor 6 Tahun 2023, tanpa ada perubahan pada bagian yang akan diuraikan), kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat diterapkan pada pekerjaan yang:

pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
pekerjaan yang bersifat musiman;
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap
Merujuk pada lima kriteria di atas, karena PT Sai Apparel merupakan perusahaan garmen yang sebelumnya telah beroperasi di Kota Semarang, setiap produksi yang dikerjakan oleh buruh di PT Sai Apparel Grobogan tidak memenuhi satu pun kriteria yang ditentukan. Karena:

pekerjaan memproduksi garmen yang diproduksi oleh PT Sai Apparel Grobogan bukan merupakan pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara, karena jenis usaha PT Sai Apparel adalah produk garmen. Karena itu, PT Sai Apparel akan memproduksi produk garmen secara terus menerus;
pekerjaan memproduksi garmen oleh PT Sai Apparel Grobogan tidak berbatas waktu;
pekerjaan memproduksi garmen tidak dilakukan hanya pada musim-musim tertentu;
pekerjaan memproduksi garmen bukan merupakan produk baru bagi PT Sai Apparel Grobogan karena PT Sai Apparel telah bertahun-tahun beroperasi di Kota Semarang; dan
pekerjaan memproduksi garmen di PT Sai Apparel bersifat tetap.
Dengan demikian, pekerjaan memproduksi produk garmen oleh PT Sai Apparel Grobogan merupakan pekerjaan yang bersifat tetap karena dilaksanakan secara terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

Pekerjaan yang dikategorikan bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus dilakukan, tidak terputus-putus, dan tidak dibatasi waktu, serta merupakan bagian dari suatu proses produksi (Shubhan, 2018).

Jika perusahaan berdalih bahwa produksinya tergantung pesanan buyer dan desain pakaian yang berubah setiap waktu juga tidak dapat menjadi landasan hukum. Karena, buyer yang memesan barang ke pabrik telah berlangsung tahunan, mekanisme pembelian buyer yang bergantung pesanan dan sifat desain pakaian yang berubah. Dan, dalih itu tidak semestinya menjadi risiko yang harus ditanggung oleh buruh.

Jika melihat pada kasus PKWT yang diterapkan oleh manajemen PT Sai Apparel maka keputusan untuk menetapkan para buruh dalam ikatan PKWT adalah keliru. Terdapat tiga argumentasi yang dapat ditunjukkan. Pertama, pekerjaan para buruh di bagian proses (line) produksi merupakan pekerjaan yang terus-menerus dilakukan dan tidak terputus-putus. Kedua, adanya jam-jam kerja tertentu yang mengharuskan buruh bekerja lebih lama atau lembur. Ketiga, para buruh bekerja sepanjang tahun memproduksi pakaian berbagai macam jenis pakaian (style), tanpa melihat transisi cuaca sebagai tanda dimulai atau berakhirnya suatu pekerjaan. Dengan ketiga argumentasi tersebut maka status kerja buruh PT Sai Apparel harus dipekerjakan sebagai buruh tetap (PKWTT).

Buruh PT Sai Apparel Tidak Diberikan Salinan Perjanjian Kerja
Para buruh yang bekerja di PT SAI Apparel juga mengeluhkan tidak diberikan salinan dokumen perjanjian kerja tanpa alasan yang jelas. Sehingga beberapa orang tidak mengetahui secara jelas isi dari perjanjian kerja.

Dalam keadaan apapun perusahaan tidak memiliki hak untuk menahan dan tidak memberikan salinan perjanjian meskipun isi dari perjanjian tersebut ada yang bersifat rahasia dan hanya boleh diketahui oleh kedua belah pihak. Mengenai hal ini pasal 54 ayat (3) UUK menyebutkan:

“Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.”

Jika perusahaan yang tidak mau memberikan salinan kontrak kerja dengan alasan kerahasiaan maka tidak dapat dibenarkan. Karena dokumen perjanjian kerja mengatur hak-hak buruh yang wajib diketahui oleh buruh itu sendiri yang akan bekerja di perusahaan.

Kemunculan Memo yang Mengatur Hubungan Kerja
Buruknya kondisi kerja di PT Sai Apparel Industries Grobogan juga dipengaruhi oleh bermunculannya memo-memo yang berisikan pengaturan khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Seringkali kemunculan memo tersebut dilakukan secara sepihak, mendadak dan instruksional. Di antara memo yang diterbitkan, salah satunya justru melanggar hak-hak dasar perburuhan yang berakibat hilangnya hak buruh yang seharusnya diterima.

Sebagai contoh, memo yang mengatur tentang cuti tahunan yang jatuh bertepatan dengan pelaksanaan hari raya keagamaan seperti Idulfitri, Iduladha, Natal, Tahun Baru, atau pada hari cuti bersama yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam menentukan cuti Hari Raya Keagamaan 2022 PT SAI Apparel Industries Grobogan mengeluarkan memo tentang pengumuman cuti hari raya yang mengikuti anjuran pemerintah yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri mengenai penetapan hari libur nasional yang bertepatan dengan hari raya keagamaan.

Manajemen PT Sai Apparel Industries Grobogan justru tidak menerapkan ketentuan libur nasional sesuai dengan arahan pemerintah dalam SKB Tiga Menteri Nomor 678 dan Nomor 2 Tahun 2022. Sebaliknya, manajemen PT SAI Apparel Industries Grobogan meminta para buruh untuk bekerja pada 29 April 2022, dan dialpakan pada 30 April 2022, serta 4 Mei 2022 sampai dengan 7 Mei 2022. Padahal, bila merujuk pada ketentuan SKB Tiga Menteri seharusnya pada 29 April 2022 dan 4 Mei 2022 sampai dengan 6 Mei 2022 merupakan hari libur nasional.

Kasus yang sama juga terjadi pada waktu libur hari Natal 26 Desember 2022. Kepala Human Resource Development (HRD) bernama Wiji Utomo dan Chanchal Gupta selaku Manajer Umum, menerbitkan instruksi pengumuman yang berisi pernyataan meliburkan semua buruh dengan status hubungan kerja kontrak (PKWT) yang disertai pemotongan upah. Surat tersebut juga dibubuhi tanda tangan sebagai bentuk penyepakatan oleh Ketua KSPS Muhammad Ali Nurudin. Kesepakatan dibuat tanpa melibatkan SP SPRING sebagai salah satu serikat di PT SAI Apparel Industries. Meliburkan buruh di hari libur dan memotong upahnya merupakan pelanggaran terhadap hak cuti buruh, jika tidak disebut sebagai permufakatan jahat untuk mencuri upah buruh.

Selain memo mengenai alpa dan pemotongan upah yang dilakukan pada hari libur nasional, memo lainnya juga mengatur tentang penggunaan alas kaki saat bekerja. Memo tersebut muncul pada 17 November 2022 dengan Nomor Surat 01/SAI/IOM/2022. Isi memo ini menginstruksikan buruh PT Sai Apparel Industries Grobogan yang bekerja di bagian produksi untuk menggunakan sandal jepit karet dengan merek Swallow dan harus berwarna biru. Sementara, bagi buruh yang bekerja di bagian mekanik diwajibkan menggunakan sepatu safety. Ironisnya, memo tersebut tidak menjelaskan argumentasi logis terhadap pengaturan penggunaan alas kaki.

Baca juga:  KORDINASI UNTUK ADVOKASI PHK SEPIHAK di PT RAGATEX

Menurut pendapat penulis, jika memo ini dibuat atas dasar ingin memerhatikan keselamatan dan keselamatan Kerja (K3) buruh, hendaknya dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat buruh. Perundingan tersebut dengan mengedepankan tahapan prinsip keselamatan kerja, yaitu menghilangkan potensi bahaya atau mengganti potensi bahaya atau menyediakan APD (alat pelindung diri). Demikian halnya seperti penggunaan sandal jepit dengan merek Swallow, hanya dapat ditempuh jika dirundingkan terlebih dahulu.

Setelah terjadi perundingan, barulah keputusan disampaikan kepada para buruh bahwa memang dibutuhkan penggunaan sandal jepit karet merek Swallow berwarna biru, demi tercapainya kondisi kerja yang sehat dan aman. Sayangnya, tidak ditemukan itikad baik dari perusahaan dalam penerbitan memo tersebut.

Memo selanjutnya yang muncul adalah mengenai pembayaran premi kehadiran sebesar Rp50 ribu bagi buruh yang bersedia bekerja selama 7 jam penuh ditambah 1 jam istirahat secara penuh selama 30 hari, tanpa adanya libur atau izin dengan alasan apapun. Memo tersebut diterbitkan pada 3 Maret 2023 dengan Nomor 04/SAIG/IOM/2022.

Titik permasalahan dalam memo tersebut, yaitu instruksi bagi buruh yang bersedia bekerja tanpa libur selama 30 hari penuh nonstop. Maka, perusahaan akan membayarkan premi sebesar Rp50 ribu per bulan. Bila dicermati, memo ini tampak baik: pemberian reward bagi buruh yang ‘rajin bekerja’ oleh perusahaan.

Namun, jika diamati lagi ternyata tunjangan ‘rajin bekerja’ tersebut muncul setelah kasus jam molor mencuat di media massa. Oleh karena itu, memo tersebut harus dilihat lebih kritis. Pertama, pemberian insentif kepada buruh tidak menggugurkan kesalahan perusahaan yang menggunakan mekanisme ‘jam molor’ yang kerap kali dilakukan. Pihak manajemen perusahaan harus tetap membayar kerugian jam molor kepada seluruh buruh yang bekerja di PT Sai Apparel Industries Grobogan.

Kedua, pemberian insentif dengan syarat bekerja selama 30 hari penuh tanpa jeda mengarah pada praktik pelanggaran pidana. Jenis pekerjaan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kerja berlebih (overwork) yang melebihi ketentuan lembur berdasarkan ketentuan hukum ketenagakerjaan Indonesia. Praktik pemberian insentif dapat dijerat dengan sanksi pidana. Pengusaha yang melanggar ketentuan waktu kerja lembur dalam Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dapat dijerat sanksi pidana dengan denda minimal Rp5 juta dan maksimal Rp50 juta (Hukumonline.com, 8 Juni 2023).

Memo lainnya yang dianggap bermasalah yaitu tentang larangan membawa telepon genggam (handphone)di area produksi. Memo ini dikeluarkan perusahaan pada 9 Februari 2023 dengan Nomor 03/SAIG/IOM/2023. Memo ini berisikan larangan kepada buruh yang bekerja di area produksi untuk: membawa telepon genggam, mengambil gambar maupun video kemudian mengunggahnya ke media sosial tanpa seizin manajemen. Apabila memo ini dilanggar buruh diancam sanksi berat yang akan diberikan oleh manajemen.

Memo di atas dibuat tanpa landasan hukum. Manajemen perusahaan mengeluarkan memo tersebut setelah menyebarnya video kejadian ‘kerja paksa’, ‘lembur tidak dibayar’ dan kekerasan verbal di PT Sai Apparel di media sosial. Tampaknya, perusahaan tidak memiliki itikad baik untuk memperbaiki manajemennya yang buruk. Malah membatasi ruang privasi buruh yang bekerja di area produksi.

Penggunaan handphone tidak berhubungan dengan terganggunya proses produksi. Sedangkan, pada kasus Erma–salah seorang buruh PT Sai Apparel Industries Grobogan yang melakukan proses perekaman video atas tindakan ‘kerja paksa’, ‘lembur tidak dibayar’ dan kekerasan verbal yang dilakukan manajemen–bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Justru, rekaman video tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik. Oleh karena itu, perekaman terhadap kejadian nyata secara langsung dengan menggunakan kamera yang dimaksud bukanlah termasuk pelanggaran menurut Pasal 31 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini juga diperkuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang mengubah penjelasan dalam Pasal 5 ayat 1 hingga perubahannya menjadi:

“Ayat (1)

Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.” (Hukumonline.com, 4 September 2018)

hukumonline.com. 4 September 2018
Munculnya memo yang diberlakukan secara sepihak oleh manajemen PT SAI Apparel Industries Grobogan merupakan tindakan melucuti hak buruh dan tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun. Selain melanggar hal-hal yang substansial seperti yang telah disebutkan di atas, secara prosedural juga PT Sai Apparel Industries Grobogan melanggar banyak ketentuan hukum.

Sebagai perusahaan yang telah memiliki Peraturan Perusahaan seharusnya tidak boleh mengubah secara sepihak isi dari peraturan perusahaan. Berdasarkan pasal 113 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.”

Perubahan dari peraturan perusahaan tersebut juga harus mendapat pengesahan dari Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Permenaker 28/2014). Jika perubahan dari peraturan perusahaan tersebut tidak mendapat pengesahan maka perubahan peraturan perusahaan dianggap tidak ada atau tidak berlaku.

Perubahan peraturan perusahaan hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan dengan serikat pekerja/serikat buruh atau wakil pekerja/buruh. Selain itu, setiap perubahan peraturan perusahaan juga harus dimohonkan pengesahannya dengan melampirkan bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh.

Simpulan
Pembuatan perjanjian kerja selalu mengacu pada prinsip atau syarat sahnya yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan ini diakomodasi dalam pasal 59 Ayat 2 UUK 2003 yang masih berlaku sampai hari ini—meskipun Undang-Undang Cipta Kerja sebagai norma hukum ketenagakerjaan terbaru telah berlaku. Seringkali, dalam praktiknya pembuatan perjanjian kerja dibuat secara baku dan sepihak oleh perusahaan tanpa melibatkan serikat buruh dalam menentukan isi dari perjanjian tersebut. Akibatnya, hak buruh banyak yang dilanggar dan juga posisi tawar buruh dilemahkan sejak awal.

Pada kasus klausul perjanjian kerja yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan, kerap ditemukan minimnya pengaturan hak normatif bagi buruh, sebagaimana contoh dalam kasus di PT Sai Apparel Industries Grobogan tentang pengaturan mengenai mutasi dan demosi secara sepihak yang tidak sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat.

Selain itu mengenai pembayaran upah yang dilakukan dengan cara dicicil sebanyak dua kali pembayaran dalam sebulan. Hal tersebut juga tidak memiliki dasar hukum pengambilan keputusan yang dibuat oleh manajemen pabrik. Lagi-lagi pengusaha selalu bersembunyi dibalik istilah “kesepakatan kedua belah pihak”, padahal perjanjian dibuat secara baku dan sepihak. Jika kita kembali kepada prinsip perjanjian di pasal 1320 KUH Perdata maka syarat kesepakatan tidak terpenuhi apabila perjanjian tidak melibatkan pihak buruh dalam penyusunan perjanjian; akibat dari peristiwa tersebut adalah perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.

Problematika mengenai pemberlakuan PKWT dalam pekerjaan yang bersifat tetap juga muncul di kasus PT Sai Apparel Industries Grobogan. Buruh yang bekerja di bagian inti dari produksi dianggap sebagai pekerjaan musiman. Jika melihat pada kasus PKWT yang diterapkan oleh manajemen PT Sai Apparel maka keputusan untuk menetapkan para buruh dalam ikatan PKWT adalah keliru dan sesat. Terdapat tiga argumentasi yang dapat ditunjukkan. Pertama, pekerjaan para buruh di bagian proses (line) produksi merupakan pekerjaan yang terus-menerus dilakukan dan tidak terputus-putus. Kedua, adanya jam-jam kerja tertentu yang mengharuskan buruh bekerja lebih lama atau lembur. Ketiga, para buruh bekerja sepanjang tahun memproduksi pakaian berbagai macam jenis pakaian (style), tanpa melihat transisi cuaca sebagai tanda dimulai atau berakhirnya suatu pekerjaan. Dengan ketiga argumentasi tersebut maka status kerja buruh PT Sai Apparel Industries Grobogan harus dipekerjakan sebagai buruh berstatus kerja tetap (PKWTT).

Buruh-buruh di PT Sai Apparel juga tidak menerima salinan kontrak kerja dengan dalih perusahaan merasa takut buruh akan menyebarkan rahasia dari perusahaan. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan Pasal 54 Ayat 3 UUK 13 2003. Di sisi lain, PT Sai Apparel juga acap mengeluarkan memo internal yang mempreteli hak buruh. Seharusnya, jika mengacu pada regulasi ketenagakerjaan, perihal perubahan-perubahan aturan internal perusahaan, seperti Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dibentuk berdasarkan kesepakatan yang melibatkan serikat buruh. Setelah itu, pihak pemerintah yang berwenang, seperti dinas ketenagakerjaan, wajib diberitahukan jika ada perubahan dalam peraturan internal di perusahaan.

 

By Riefqi Zulfikar

Dikutip dari Majalah Sadane