PP 78/2015 tentang Pengupahan yang diikuti oleh surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan setiap tahunnya membuat gerakan buruh dalam meminta kenaikan upah menjadi surut.
Setiap memasuki bulan September atau paling lambat Oktober biasanya sudah marak dengan aksi demonstrasi dalam menuntut kenaikan upah. Aksi ini muncul berbarengan dengan dimulainya sidang Dewan Pengupahan maupun survei KHL. Tetapi aksi ini mulai menghilang sejak dikeluarkannya PP No 78/2015 yang kemudian selalu diikuti dengan surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan bahkan diikuti dengan surat edaran dari Menteri Dalam Negeri.
Periode September dan Oktober 2017 ini nyaris tidak ada aksi besar – besaran dalam menuntut kenaikan upah minimum. Hanya ada aksi yang cukup besar di 7 dan 10 Oktober dalam memperingati hari kerja layak dan disisipi oleh permintaan akan upah layak. Oleh karena itu patut dicermati bahwa dengan keluarnya PP No 78/2015 yang diikuti berbagai surat edaran baik dari Menteri terkait maupun Gubernur jelas ada indikasi untuk meredam dan menggiring gerakan perjuangan buruh dari wilayah publik hanya ke unit pabriknya masing – masing.
Pemerintah berdalih dengan PP No 78/2015 ini buruh tidak perlu capek – capek menuntut kenaikan upah, karena upah akan otomatis naik. Tetapi pertanyaan besarnya adalah apakah angka kenaikan yang diberikan oleh BPS itu adalah angka riil dari kebutuhan layak?. Apakah angka itu bukan angka politis hanya untuk sekedar dalih melindungi investasi ?. Tetapi yang harus lebih cermat di waspadai adalah dengan keluarnya PP No 78/2015 ini maka kenaikan upah tidak lagi menjadi isue publik, tidak lagi menjadi isue bagi semua orang, tetapi lebih kepada isue pekerja/buruh yang bekerja di pabrik. Karena di negeri ini pekerja yang tidak bekerja di pabrik pada umumnya tidak merasa sebagai buruh.
Selain itu perjuangan kenaikan upah kini seolah-olah hanya menjadi pergulatan sp/sb atau pekerja yang didalam.pabrik saja. Padahal semua orang tahu bahwa pelanggaran hak normatif begitu masif di negeri ini, maka akan sangat mudah bagi pengusaha untuk mengelak kenaikan upah ini kepada pekerjanya yang tidak mempunyai SP/SB dengan alasan perusahan merugi. Atau bahkan kepada pekerja yang mempunyai SP/SB tetapi tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam melakukan perundingan dan sering berada diposisi dibawah tekanan perusahaan.
Oleh karena itu penting sekali kepada perangkat SP/SB untuk memberdayakan SP/SB di unit pabrik agar mumpuni dalam berunding, serta melakukan pengorganisasian kepada pekerja/buruh yang belum tergabung di dalam SP/SB. Aturan di negeri ini cenderung selalu dilanggar karena itu membutuhkan aktivis – aktivis yang militan dan solidaritas yang tinggi di kalangan pekerja/buruh dalam menuntut kesejahteraannya.
Shanto/Editor