Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Undang-Undang memberikan kategori bolos/mangkir setidaknya lima hari kerja atau lebih yang dapat diklasifikasikan sebagai salah satu alasan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal tersebut diatur dalam Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat aturan Pasal 154A ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut berbunyi:

 

“Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan: j. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis.”

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengusaha baru dapat melakukan PHK setelah karyawan mangkir lima hari kerja atau lebih berturut-turut dan yang bersangkutan telah dipanggil setidaknya dua kali secara patut dan tertulis, namun karyawan tersebut tetap tidak datang/tidak dapat memberikan keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah atas alasan mangkirnya.

 

Aturan teknis PHK diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pasal 37 ayat 2 dan ayat 3 mengatur:

(2) Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan Pemutusan Hubungan Kerja diberitahukan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam Perusahaan apabila Pekerja/Buruh yang bersangkutan merupakan anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Baca juga:  HAKIM PUTUSKAN JUNGLELAND HARUS BAYAR PESANGON RP 3,8 M

(3) Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat PekerjalSerikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja. Sementara bagi pekerja yang statusnya masih dalam masa percobaan, dalam poin 4 diatur:

(4) Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.

 

Pasal 38 PP 35/2021 mengatur: Dalam hal Pekerja/Buruh telah mendapatkan surat pemberitahuan dan tidak menolak Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha harus melaporkan Pemutusan Hubungan Kerja kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.

 

Pasal 39 PP 35/2021 mengatur:

(1) Pekerja/Buruh yang telah mendapatkan surat pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dan menyatakan menolak, harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan.

(2) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Baca juga:  H&M BERSIKUKUH BAHWA PESANGON TANGGUNG JAWAB PT LIEBRA PERMANA

(3) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Dalam PP 35/2021 Pasal 51 mengatur: Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis maka Pekerja/Buruh berhak atas:

  1. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan
  2. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

 

Sementara uang penggantian hak yang diterima sebagaimana di maksud dalam poin a di atas meliputi:

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat dimana Pekerja/ Buruh diterima bekerja; dan
  3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

 

SN 09/Editor