Para buruh perempuan menempati posisi paling rendah dalam sistem produksi pabrik garmen
(SPN News) Jakarta, Eksploitasi kerja kontrak yang mengikat para buruh perempuan di pabrik-pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (BKN) Cakung, Jakarta Utara, melanggengkan pelecehan dan kejahatan seksual. Hal ini terjadi di pabrik tempat kerja Linda. Linda, 35 tahun, bekerja di sebuah pabrik yang majikannya orang Korea Selatan. Ia berkata kerap “dipegang” oleh operator mekanik saat mesin jahit rusak.
Ia “mengizinkan” pelecehan itu karena “saking takutnya” mengingat buruh seperti dia dikejar target produksi, sehingga bagian tubuhnya “dipegang” atau “diraba” oleh atasannya asalkan “mesinnya aman.”
Kuasa atas tubuh buruh perempuan di tempat kerja Linda tak sebatas Itu. Linda mengisahkan teman kerjanya yang dipaksa berhubungan seksual oleh pacarnya, yang bekerja di perusahaan yang sama, karena diancam kontrak kerja si teman takkan diperpanjang. Buruh pria itu memiliki jaringan ke pihak manajemen, seperti mandor atau pengawas, dan relasi kuasa ini dipakai untuk melanggengkan hasrat seksualnya. Teman Linda itu hamil dan dipaksa oleh pacarnya untuk menggugurkan kandungan, seraya diancam dilarang mengisahkan cerita tersebut.
“Kalau dia cerita ke orang-orang kalau dia gugurkan kandungan, kontrak kerjanya akan diputus lewat [orang] manajemen yang dikenal oleh pacarnya, ” ujar Linda.
Para buruh perempuan menempati posisi paling rendah dalam sistem produksi pabrik garmen. Kebanyakan bekerja di mesin jahit dan pengemasan. Eksploitasi kerja kontrak itu dimanfaatkan oleh rekan buruh pria dan para atasan melakukan pelecehan bahkan kejahatan seksual terhadap buruh perempuan.
Dari penelitian Perempuan Mahardhika, organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan perempuan dari kekerasan seksual, mengenai pelecehan seksual terhadap 773 buruh perempuan di KBN Cakung, masih ada buruh dengan status kerja kontrak sekalipun sudah bekerja selama 4–6 tahun (6,34%), 7–10 tahun (3,10%), dan lebih dari 10 tahun (1,68%). Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, sistem kerja kontrak hanya berlaku paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang selama setahun berikutnya.
Linda mengisahkan teman kerjanya yang lain, yang dipaksa berhubungan seksual hingga hamil oleh kepala produksi. Si pelaku justru menikahkan buruh perempuan tersebut dengan pria lain. Kini buruh itu memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Kondisi kerja macam itu merupakan hal lumrah di KBN Cakung, menurut Boy.
Boy, 25 tahun, buruh garmen yang majikannya orang Korea Selatan, mengisahkan teman kerjanya dipaksa berhubungan seksual oleh manajer pabrik karena saat itu ia membutuhkan biaya berobat untuk ibunya.
“Manager factory suka sama operator packing itu, lalu [mereka] jalan. [Dia] cerita ke teman-teman,” ungkap Boy.
Kabar itu rupanya menyebar hingga ke telinga istri manajer pabrik.
“Jadi eonnie- nya marahin dia di depan semua karyawan. Si eonnie teriak-teriak. Aku sih enggak tega, tapi ya gimana? Anak itu keluar [kerja] karena dia malu,” cerita Boy, yang pabrik tempatnya bekerja sudah tutup pada Oktober lalu.
Ajeng Pangesti, 30 tahun, mengatakan sebagian pelaku pelecehan seksual itu orang-orang di bagian direksi perusahaan, umumnya warga negara asing yang biasa disebut “mister”.
Di Cakung, sebagian besar pabrik garmen dimiliki oleh pengusaha asal Korea Selatan.
“Teman-teman itu enggak nyaman ketika masuk ke PT dirangkul oleh HRD atau sama mister -nya, tapi teman-teman masih menganggap kalau mengadu soal itu akan dipecat,” ujar Ajeng, anggota Komite Buruh Perempuan.
Ajeng meyakini praktik-praktik “kencan kontrak” istilah untuk menyebut pelecehan seksual “dilazimkan” demi kontrak kerja diperpanjang—masih umum terjadi apalagi sistem kontrak kerja semakin “tak manusiawi.”
Sistem kontrak di pabrik-pabrik garmen di Cakung tak hanya tahunan atau bulanan, tapi masih ada yang menerapkan kontrak 14 hari. Ajeng pernah dilecehkan oleh teman kerja pria yang meremas pantatnya. Marah dan refleks, Ajeng mengebasnya.
Namun, tak semua buruh perempuan punya sikap tegas serupa Ajeng. Sebagian buruh yang menerima pelecehan seksual hanya bisa menangis. Buruh perempuan yang berpenampilan tomboi, yang kerap mengenakan pakaian longgar, sering diremas payudaranya oleh buruh pria.
“’Ini ada teteknya enggak sih?'” cerita Ajeng.
Sasaran pelecehan lain adalah buruh berstatus janda yang jadi bahan olok-olok.
Ajeng menilai epidemi pelecehan seksual di pabrik garmen karena buruh sering dianggap pekerja tak terampil. Para pelaku juga memakai posisinya yang lebih tinggi di atas buruh-buruh perempuan yang mengerek harga diri mereka sehingga “mewajarkan” pelecehan tersebut.
“Cewek-cewek KBN saja sok jual mahal,” ujar Ajeng, menirukan komentar tipikal dari para pria di Kawasan Berikat Nusantara Cakung.
Ajeng menilai beragam pelecehan seksual terhadap para buruh perempuan di KBN Cakung masih dipandang “tabu”. Meski ada posko pelaporan pelecehan seksual di pos keamanan, para buruh enggan melapor karena ada tekanan sosial, di antaranya pandangan negatif dari pekerja lain.
“Karena anggapannya ketika masuk ke posko pembelaan buruh perempuan, maka kamu adalah korban,” ujar Ajeng.
Donna dari Perempuan Mahardhika mengungkapkan pelecehan seksual di kawasan industri Cakung menjadi hal “lumrah” sejak puluhan tahun lalu.
Masalahnya, perusahaan abai atas perkara ini, lebih sering mengingkari ada predator seksual di pabriknya, apalagi jika pelaku adalah bos perusahaan Manajemen pabrik memilih menutupi kasus ketimbang memperkarakan karena menganggap kasus itu adalah “aib.” Buruh memilih bungkam, sangat mungkin ketakutan, ketika diminta melapor. Usaha melapor ke kepolisian setempat pun ribet dan bertele-tele.
“Kalau dia mau lapor ke polisi harus izin kerja. Kalau izin, takut diomelin, takut diputus kontrak, sehingga semuanya patah di jalan,” ujar Donna, mantan buruh pabrik garmen di Cakung, menceritakan lingkaran setan ini. Donna mengakui tingkat kesadaran buruh melaporkan kejahatan seksual meningkat setelah ada plang “PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero) Bebas Pelecehan Seksual”.
Persoalannya, dalam beberapa bulan terakhir, ada kabar tak sedap: pabrik garmen berencana angkat kaki dari KBN Cakung dengan dalih upah buruh mulai tinggi. Pabrik-pabrik ini berencana pindah ke daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Donna dan rekan-rekan buruh perempuan khawatir kepindahan pabrik ini semakin memuluskan perilaku penjahat-penjahat seksual. Sebab, hingga kini, baru kawasan industri Cakung yang berkomitmen memerangi pelecehan seksual.
Shanto dikutip dari Tirto.id/Editor