Pembenahan pengelolaan BPJS Kesehatan melalui menaikkan iuran dinilai bukan solusi ampuh dan diharapkan semua pihak

(SPN News) Jakarta, Pembenahan pengelolaan BPJS Kesehatan melalui menaikkan iuran dinilai bukan solusi ampuh dan diharapkan semua pihak.

Dosen Hukum Kesehatan Universitas Atmajaya Erfen Gustiawan Suwanto mengatakan bahwa defisit BPJS Kesehatan itupun dikeluhkan para praktisi bidang kesehatan, terutama manajemen rumah sakit dan klinik swasta. Bahkan, sejalan dengan defisit tersebut, pada tahun ini tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit di seluruh Indonesia, makin menumpuk.

Berdasarkan catatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), tunggakan BPJS Kesehatan pada 2019 telah mencapai Rp 6,5 triliun. Akibatnya, banyak rumah sakit yang didera kendala operasional, seperti putusnya pasokan obat dari para vendor karena ketiadaan dana, hingga tunggakan gaji kepada para dokter.

Di sisi lain, lanjutnya, secara manajerial, BPJS Kesehatan juga memberikan imbas negatif kepada klinik-klinik swasta. Saat ini, dengan menggenggam BPJS Kesehatan, masyarakat lebih memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di Puskesmas, dengan rujukan langsung ke rumah sakit.

Baca juga:  BURUH JATENG TOLAK UU CIKER DAN TUNTUT KENAIKAN UMK JAWA TENGAH

“Alhasil, klinik-klinik swasta mengalami kesulitan operasional. Sebaliknya, pihak pemerintah juga DPR mempunyai argumentasi berbeda terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan,” ujarnya, (29/9/2019).

Justru, lanjutnya, DPR dan Pemerintah malah mencurigai praktik tidak benar dari para oknum rumah sakit. Belum lama ini, DPR menemukan kasus di 40 rumah sakit swasta di Sumatra Utara yang dicurigai menyalahgunakan pencairan BPJS Kesehatan. Umumnya, rumah sakit dinilai melakukan markup klaim. Untuk kasus Sumut itu, diperkirakan menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.

Dia menilai kompleksitas masalah BPJS Kesehatan berakar kepada perspektif yang keliru dari para pemangku kepentingan. Menurutnya, perangkat peraturan BPJS Kesehatan cukup komplit, termasuk aturan tentang fraud.

Baca juga:  MENGURANGI RESIKO PENYEBARAN COVID - 19, PT MASTER WOVENINDO LABEL KURANGI JAM KERJA TANPA MENGURANGI UPAH

“Soal Fraud itu ada Permenkes No 36/2016, isinya sekitar 10 jenis fraud. Kalau RS ya soal penaikan jumlah klaim yang tak benar, BPJS juga bisa melakukan downgrade klaim yang juga tak benar, termasuk pasien dan dokter pun berpotensi melakukan fraud tersebut,” kata Erfen.

Lebih jauh, dia menilai fraud terkait BPJS Kesehatan dipengaruhi banyak hal. Pertama, terkait skala keekonomian tarif BPJS Kesehatan.

“Selama ini pemerintah memasang tarif dengan mengacu ke fasilitas kesehatan negeri, seperti RS negeri, yang semuanya digaji sama negara. Sedangkan RS swasta kan berbeda, harus membayar gaji dan operasional sendiri, namun disamakan tarifnya, ini yang membuat RS swasta melakukan tindakan yang tidak benar,” katanya.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor