Industri kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini masih terus menemui sejumlah tantangan yang harus dihadapi, seperti larangan dari Uni Eropa (UE) dan kampanye negatif dari serangkaian lembaga swadaya masyarakat (LSM)
(SPN News) Jakarta, Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia dan penyumbang devisa terbesar. Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sekitar 46 juta ton per tahun. Dari tahun ke tahun komoditas ini terus bertembuh ditengah berbagai isu negative tentang industrinya.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) selama 2018 sebesar 34,71 juta ton, naik delapan persen dibandingkan 2017. Selain itu, produk turunan CPO seperti refined CPO dan minyak laurat juga mengalami kenaikan cukup signifikan yakni tujuh persen, dari yang sebelumnya 23,89 juta ton menjadi 25,46 juta ton. Kelapa sawit pun menjadi salah satu bahan baku utama biodiesel atau bahan bakar nabati, yang dianggap sebagai salah satu alternatif energi baru pengganti bahan bakar fosil yang diperkirakan akan habis dalam 70-80 tahun lagi.
Meskipun demikian, industri kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini masih terus menemui sejumlah tantangan yang harus dihadapi, seperti larangan dari Uni Eropa (UE) dan kampanye negatif dari serangkaian lembaga swadaya masyarakat (LSM). UE akan mengenakan bea masuk anti-subsidi (BMAS) antara 8 hingga 18 persen terhadap produk impor biodiesel dari Indonesia. Pada Maret 2019 yang lalu, Komisi UE pun mengategorikan minyak sawit sebagai produk yang ‘tidak berkelanjutan’ alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Tak hanya itu, Indonesia pun dituding sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi untuk kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit. Faktanya, total luas perkebunan kelapa sawit hanya sekitar 6,6 persen dari total lahan dunia.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Kasdi Subagyono mengatakan bahwa pelaku industri sawit di Indonesia tidak perlu khawatir dengan banyaknya tantangan tersebut. Sebab menurutnya itu terjadi hanya karena ada kepentingan persaingan dagang saja di baliknya.
“Kita percaya Eropa enggak akan menolak semua, sebab industrinya pasti berhenti. Mereka sangat butuh CPO karena paling efisien. Larangan di Uni Eropa itu belum secara total, kita masih ada ekspor kesana, tapi memang tidak maksimal. Selain itu kita juga berupaya untuk mencari pasar ekspor yang lain, misalnya Argentina,” kata Kasdi kepada Antara beberapa waktu lalu.
Pemerintah hingga kini masih berupaya memfasilitasi pengembangan industri sawit, terutama pasar ekspor. Meski ada larangan dari UE, dia meyakini bahwa industri di eropa masih akan sangat bergantung kepada sawit Indonesia, lantaran lebih efisien ketimbang minyak nabati yang lainnya.
Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Pradnyawati juga menyebut bahwa langkah Eropa tersebut sebagai strategi yang terstruktur, sistematis dan masif dalam menolak produk CPO dari Indonesia.
“Mereka tidak mau minyak nabati mereka yang dihasilkan di Eropa itu tersaingi minyak nabati dari Asia. Minyak sawit itu sangat efektif dari segala parameter, kita lebih kompetitif dibandingkan minyak bunga matahari, kedelai. Itu lah kenapa kita diserang,” ujar Pradnyawati beberapa waktu lalu.
SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor