(SPNEWS) Jakarta, Ketentuan Upah Minimum dan konsep KHL sudah dikenal sejak 45 tahun lalu di Indonesia. Namun selama periode itu telah berganti-ganti istilah yang berlaku sejak 1969. Dan seiring berjalannya waktu mengalami beberapa perubahan.

Berikut ini perjalanan konsep Upah Minimum dan KHL di Indonesia

Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) 1969-1995

Konsep KFM telah dirumuskan dan dipersiapkan sejak 1956 melalui kesepakatan tripartit dan para ahli gizi untuk menghitung upah minimum. Kebijakan Upah minimum pertama kali muncul tahun 1970-an, setelah ada Dewan Penelitian Pengupahan Nasional berdasarkan Keppres No 85 1969. Selain itu dibentuk juga Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) oleh para Pemerintah Daerah.

Waktu itu, komponen dalam KFM terdiri dari 48 komponen mencakup makanan dan minuman 17 komponen. Lalu ada komponen bahan bakar, penerangan, dan penyejuk ada 4 komponen, Juga ada perumahan dan alat dapur ada 11 komponen. Kemudian ada kelompok pakaian terdiri 10 komponen dan terakhir kelompok lain-lain ada 6 komponen.

Namun konsep kebijakan upah minimum resmi berlaku sejak ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No Per-05/Men/1989 tentang upah minimum, yang definisinya sudah dirumuskan sebagai upah pokok terendah belum termasuk tunjangan. Kemudian ada revisi melalui Permenaker No Per-10/Men/1990 tentang perubahan Permenaker Nomor: Per -05/Men/1989.

Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) 1996-2005

Konsep KHM ditetapkan melalui Permenaker No 81 tahun 1995. Ditetapkan beberapa komponen KHM antara lain kelompok makanan dan minuman ada 11 komponen, perumahan dan fasilitas sebanyak 19 komponen, sandang ada 8 komponen dan aneka kebutuhan 5 komponen sehingga totalnya ada 43 komponen.

Kemudian muncul Permanaker N0 3 1997 tenyang Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku 2 tahun, dengan terbitnya Permenaker No 1 tahun 1999 tentang upah minimum. UMR ditetapkan menjadi tingkat I dan tingkat II, antaralain kebutuhan, indeks harga konsumen, kemampuan perusahaan, kondisi pasar kerja dan tingkat perekonomian.

Lalu pada tahun 2000, muncul Kemenakertrans No 226/Men/2000 tentang perubahan Permenaker No 1 tahun 1999. Semenjak UMR tingkat I berubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) sedangkan UMR tingkat II berubah menjadi Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).

Baca juga:  DENGAN ALASAN UNTUK BERI KEPASTIAN, JUMLAH PESANGON DALAM RUU CIPTA KERJA DIPANGKAS

Upah Minimum 2006-2019

Konsep upah minimum yang terbaru muncul pada 2006 berdasarkan Permenaker No 17/Men/2005 tentang komponen dan penetapan kebutuhan hidup layak. Pada waktu itu ada 7 kelompok yang mencakup 46 komponen (KHL), antaralain makanan minuman ada 11 komponen, sandang 9 komponen, perumahan 19 komponen, pendidikan 1 komponen, kesehatan 3 komponen, transportasi 1 komponen, dan rekreasi-tabungan ada 2 komponen.

Kemudian jumlah komponen KHL direvisi melalui Permenakertrans No 13 tahun 2012 tentang KHL. Jumlah komponen KHL bertambah menjadi 60 komponen, antaralain makanan minuman 1 komponen, sandang 13 komponen, perumahan 26 komponen, pendidikan 2 komponen, kesehatan 5 komponen, transportasi 1 komponen dan rekreasi-tabungan 2 komponen.

Upah Minimum 2020-kini

Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker) telah menetapkan 64 komponen tentang kebutuhan hidup layak pada periode 2020. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) terbaru didasarkan pada Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Tetapi berdasarkan Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja ketentuan tentang penetapan upah minimum diatur dalam Pasal 88D yang berbunyi sebagai berikut.

“Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum”.

(1) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.

UU No 6/2023 Tentang Cipta Kerja kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 untuk menggantikan PP No 36 Tahun 2021.

PP Nomor 51 Tahun 2023 ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo di Jakarta pada 10 November 2023 berisi sebanyak 16 halaman isi dan 11 halaman penjelasan. Aturan itu diberlakukan sebagai perubahan atas peraturan terdahulu, oleh karena itu ada sejumlah tambahan hingga penghapusan di sejumlah pasalnya. Misalnya pada Pasal 24 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi:

Baca juga:  DISKUSI PERBURUHAN - AGENDA DPP SPN

“Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki kualifikasi tertentu yang disyaratkan dalam jabatan dapat diberikan Upah lebih besar dari Upah minimum.”

Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 25 diubah dan ketentuan Pasal 25 ayat (4) dan ayat (5) dihapus, sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

(1) Upah minimum terdiri atas:

  1. Upah minimum provinsi; dan
  2. Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

(3) Penetapan Upah minimum dilakukan bagi:

  1. provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki Upah minimum;
  2. kabupaten/kota yang belum memiliki Upah minimum; atau
  3. provinsi atau kabupaten/kota hasil pemekaran. (4) Dihapus. (5) Dihapus.

Pada Pasal 26 yang telah diubah, formula penghitungan upah dijelaskan secara rinci. Penentuan variable formula dalam rentang 0,10 hingga 0,30 ditentukan oleh dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata atau median upah.

Adapun Pasal yang tercantum dalam PP Nomor 36 Tahun 2021 yang mendapat perubahan dalam PP Nomor 51 Tahun 2023 meliputi: Pasal 24, 25, 26, 26A, 26B, 27, 28, 28A, 29, 30, 31, 31A, 31B, 32, 33, 34, 34A, 34B, 34C, 35, 71, 81A, 81B, 81C.

 

Buruh menolak penetapan upah berdasarkan PP No 51 Tahun 2023 karena menilai bahwa upah tidak akan mengalami kenaikan yang sesuai dengan kebutuhan riil buruh. Apabila upah buruh dihitung berdasarkan rumus yang ada dalam PP NO 51 tersebut maka upah buruh tidak akan pernah naik lebih dari 7 persen setiap tahunnya, sementara kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan lebih dari angka tersebut.

 

Maka dapat disimpulkan bahwa PP No 51 Tahun 2023 hanya membuat upah buruh semakin tertekan dengan keadaan dan akan semakin menjauhkan buruh dari kesejahteraan yang selama ini selalu diperjuangan oleh gerakan buruh.

 

SN 09/Editor