Gambae Ilustrasi
Janji pemerintah soal pemberian lima kali gaji kepada buruh bisa merupakan jebakan bagi buruh
(SPN News) Jakarta, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memberi angin surga kepada pekerja. Angin surga mereka berikan terkait pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan bila rancangan beleid tersebut kelar dibahas dan disahkan menjadi undang-undang, buruh akan menerima hadiah. Hadiah berupa ‘pemanis’ berbentuk lima kali gaji.
‘Pemanis’ tersebut akan diberikan setelah setahun undang-undang disahkan. Namun, untuk mendapatkan ‘pemanis’ tersebut, buruh harus memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, masa kerja. Buruh yang akan mendapatkan gaji lima kali adalah mereka yang sudah bekerja dengan rentang waktu tertentu.
Kedua, batas minimal gaji. Buruh yang nantinya bisa mendapatkan ‘pemanis’ harus memenuhi syarat gaji minimal yang telah ditetapkan oleh uu tersebut.
Menurutnya, pemanis ini sengaja diberikan sebagai kompensasi kepada buruh atas perubahan formula perhitungan pesangon yang akan dilakukan pemerintah dalam Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja. Salah satunya poin pesangon yang ditambah terkait jaminan kehilangan pekerjaan.
“Ada cash benefit kemudian vokasi. Itu yang akan kami kenalkan dulu,” terang dia.
Namun, janji manis tersebut harus diwaspadai. Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi mengatakan walaupun terlihat manis, buruh perlu waspada. Ia khawatir ‘pemanis’ diberikan agar pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berjalan lancar tanpa didemo oleh buruh.
“Jangan sampai hanya untuk ‘menggolkan’ UU Cipta Lapangan Kerja agar tidak ditolak dan didemo para buruh maka ada pemanis ini. Itu bisa disebut pseudo demokrasi. Buruh setuju dengan iming-iming kenaikan gaji,” ungkapnya.
Kalau kecurigaan tersebut benar, Ia mengatakan ‘pemanis’ itu dapat berpotensi merugikan buruh. Apalagi, bila pemberiannya nanti dipukul rata dan tak sebanding dengan besaran pesangon yang harusnya diterima pekerja ketika terkena PHK.
“Pesangon merupakan konsekuensi dari PHK, besaran pesangon didasarkan pada masa kerja seorang pekerja, jadi semakin lama maka semakin besar pesangonnya, besarannya berjenjang. Maka bila dipukul rata jelas merugikan pekerja,” ungkap Tadjudin (11/2).
Tak hanya buruh, walau kemungkinannya kecil, aturan pemanis tersebut nantinya juga bisa merugikan pengusaha. Kerugian bisa timbul apabila perhitungan pemberian lima kali gaji nyatanya lebih besar daripada beban pesangon yang selama ini juga dikeluhkan para pengusaha.
“Kalau nyatanya gaji tersebut diberikan merata juga, tak hanya buruh, perusahaan-perusahaan kecil pasti megap-megap untuk membayar kompensasi itu, apalagi kalau ternyata pesangon juga tak dihapus,” tuturnya.
Atas dasar itulah, ia meminta kepada pemerintah untuk menghitung dan membahas secara benar rencana pemberian pemanis tersebut supaya baik buruh maupun pengusaha tidak ada yang dirugikan. Pemerintah dan DPR juga dimintanya memperhitungkan secara mendalam kriteria waktu ataupun batasan-batasan pemberian pemanis tersebut supaya nantinya pemanis tersebut tidak hanya menjadi angin surga belaka.
Sementara itu pengamat Perburuhan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Susilo Andi Darma menilai pemberian pemanis dari pemerintah harus dibahas secara matang. Pasalnya, itu bisa berdampak kepada beberapa aspek, terutama kepada pihak perusahaan.
Menurut Susilo, pemerintah harus memastikan tak ada dampak yang signifikan terhadap perhitungan pemanis tersebut. Apalagi, belum terdapat kepastian pemberian tersebut diberikan dalam waktu lama atau sebentar.
“Ini kan belum ada kejelasan berapa kali diberikan. Kalau dibuat annual ataupun rentan waktu tertentu, tentu harus dihitung dengan benar, karena dapat memberatkan perusahaan juga,” kata Susilo.
Susilo menambahkan pemerintah sepatutnya juga perlu menakar kembali pemberian gaji buruh apabila aturan pemanis tersebut benar-benar akan diberikan. Sebab, gaji yang terlalu besar akan berdampak buruk kepada perusahaan ataupun buruh.
Apabila perusahaan menilai angka pemanis tersebut sangat besar, maka lapangan pekerjaan untuk menerima buruh akan semakin kecil.
“Harusnya dilakukan peninjauan kembali mengenai besaran gaji, karena tidak dapat dipukul rata ke semua perusahaan, belum tentu perusahaan mempunyai kemampuan yang sama,” tuturnya.
SN 09/Editor