(SPN News) Bahan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan sejak ditetapkan per 1 Januari 2014 sampai saat ini masih menimbulkan permasalahan, hal ini bisa kita lihat dari berbagai temuan baik itu di media sosial, media cetak elektronik maupun temuan bukti di lapangan. BPK Kesehatan banyak menuai pro dan kontra sejak masih dalam RUU maupun setelah dilaksanakannya sampai pada saat ini, terutama pada pekerja/buruh serta keluarganya, dimana mengalami perubahan sistem maupun kualitas manfaat yang menurun sangat drastis serta membingungkan dalam pelayanan, semula di harapkan perubahan JPK Jamsostek menjadi JKN adalah suatu transformasi pengelolaan dan penyelenggaraan jaminan Kesehatan tanpa mengganggu pelayanan maupun kepesertaan dan manfaat tapi pada kenyataanya terjadi distorsy dimana pekerja/buruh diwajibkan mendaftar ulang serta menerima manfaat jaminan lebih rendah dari yang sebelumnya di terima pekerja/buruh dan keluarganya.

Kepesertaan peserta JPK Jamsostek tidak secara otomatis masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan, harus melalui proses hergitrasi hal ini dialami juga oleh peserta jaminan kesehatan Askes dan Asabri (PNS/Pensiun/TNI-POLRI/Veteran dan Keluarganya, serta terjadi perubahan sistem pelayanan secara drastis mendasar terkait pola tarip yang di gunakan untuk menghitung jaminan kesehatan menggunakan INA-CBG menyebabkan peserta terpaksa membayar selisih biaya atas perawatan kesehatan.

Baca juga:  KEMATIAN, KECELAKAAN KERJA, PEMBERANGUSAN SERIKAT, KRIMINALISASI: NASIB PEKERJA INDONESIA DAN TIONGKOK DI INDUSTRI SMELTER NIKEL PT GNI

Masalah utama yang menjadi titik pangkal permasalahan BPJS SJSN adalah berlakunya sistem asuransi yang menjadi supstansi jaminan sosial sehingga pelaksanaanya menjadi terikat terhadap sistematisnya penyelenggaraan serta operasi asuransi yang terikat Kepesertaan Iuran dan Manfaat,sehingga muncul para pihak tertanggung dan penanggung yang menjalin perjanjian melalui daftar kepesertaan dan membayar kewajiban berupa iuran yang pertamakalinya dan seterusnya dan terdapat sanksi bagi yang melanggar iuran berupa denda 2 persen dan administrasi, sehingga posisi Negara pemerintah berlepas tangan serta menjadi penonton saja dalam hal jaminan Kesehatan rakyat. Negara telah membebankan jaminan kesehatan ini kepada rakyatnya dengan dalih gotong royong padahal menurut konstitusi negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi rakyatnya.

Baca juga:  MAY DAY DI BEKASI DENGAN PANGGUNG HIBURAN DAN BAZAR

Jaminan Sosial sesungguhnya untuk melindungi serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dari permasalahan gangguan kesehatan serta pemeliharaan secara teratur dan kesinambungan agar pekerja/buruh dapat produktif serta meningkatkan prestasinya dalam persaingan global tetapi yang ada adalah pekerja/buruh dipaksa untuk membayar iuran bagi kesehatan dirinya sendiri beserta keluarganya, belum lagi iuran-iuran lainnya yang tentu saja pada akhirnya mengurangi pendapatan mereka yang sudah minimum tersebut. Sudah minimum pendapatan ditambah dengan banyak pungutan pula, iuran ini, iuran itu, pajak ini, pajak itu, sementara penyelenggara negara korupsi ini dan itu, pungli disana, pungli disini, suap sana, suap sini, sungguh ironi yang tidak bertepi!!!.

Shanto dari berbagai sumber/Coed