Gambar Ilustrasi

Konfederasi Serikat Buruh Internasional menilai pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Konvensi ILO No 68 Tahun 1998

(SPN News) Jakarta, Konfederasi Serikat Buruh Internasional (International Trade Union Confederation/ITUC) Asia Pasifik meminta Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pasalnya, pembahasan omnibus law tersebut dinilai bertentangan dengan Konvensi ILO No 68/1998 yang telah diratifikasi Indonesia.

General Secertary ITUC Sharan Burrow menuntut pemerintah untuk mematuhi kewajiban internasionalnya sebelum membahas lebih jauh RUU Cipta Kerja. Pemerintah diminta memastikan bahwa tim perumus harus representatif dan mewakili berbagai kepentingan di mana organisasi yang tergabung di dalamnya tidak boleh dibatasi antara satu dengan yang lain.

Di samping itu, menurut ITUC, pemerintah juga harus mempertimbangkan pendapat para mitra kerja dalam tim pembahasan dengan itikad baik, termasuk KSPI.

“Dalam hal ini, sangat penting untuk memastikan pandangan. Harusnya KSPI Indonesia sebagai salah satu organisasi serikat pekerja terbesar di Indonesia

diperhitungkan oleh pemerintah sebelum membuat keputusan,” ujar Burrow dalam keterangan resmi yang diterima (20/7/2020).

Secara umum, jelas Sharan, ada enam masalah yang disorot ITUC dalam pembahasan RUU Ciptaker. Pertama, rancangan beleid tersebut dianggap akan mengarah pada fleksibilitas tenaga kerja yang lebih besar dan rendahnya kesejahteraan pekerja secara signifikan.

“Selanjutnya, ruu itu juga gagal dan tak sejalan dengan Konvensi ILO 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berserikat,” sambungnya.

RUU Ciptaker menurut ITUC juga menyalahi prinsip tripartit dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan saling percaya untuk mengambil keputusan bersama secara musyawarah dan mufakat.

Baca juga:  REKOMENDASI UNTUK PERBAIKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL MENURUT PENELITI

Prinsip mengenai kesamaan remunerasi dan pengupahan bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan meminta semua negara untuk menjamin pelaksanaan prinsip pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tercantum dalam Konvensi ILO 100.

Sedangkan konsultasi tripartit untuk meningkatkan pelaksanaan standar-standar ketenagakerjaan  internasional yang terdapat dalam konvensi ILO 144 juga dilangkahi dalam pembahasan RUU Ciptaker.

Hal ini menghilangkan acuan untuk upah minimum di tingkat kota dan sektoral dan hanya mengacu pada upah minimum provinsi. Tingkat upah minimum akan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi, bukan berdasarkan pada bukti biaya hidup.

“Pengaturan upah akan menjadi hak prerogatif gubernur provinsi yang bertentangan dengan ILO Konvensi No.131 tentang Penetapan Upah Minimum, yang mensyaratkan tripartit mekanisme pengaturan upah minimum,” terang Burrow.

Di sisi lain, sanksi terhadap pengusaha yang tidak mematuhi upah minimum juga akan melemah secara signifikan. Undang-undang Ketenagakerjaan No 13/2003 yang berlaku saat ini menetapkan hukuman hingga 4 tahun penjara dan atau hukuman penjara pembayaran denda 400 juta rupiah.

Sementara, omnibus law akan menghapus hukuman serta penalti untuk pembayaran terlambat yang tidak dapat dibenarkan.

“Apalagi mikro usaha kecil dan menengah, yang merupakan mayoritas bisnis di Indonesia, dapat dibebaskan dari kewajiban membayar minimum pekerja upah,” ucap Sharan.

Baca juga:  KADISNAKER KOTA TANGERANG SEBUT PT PANARUB AKAN PHK 2.000 PEKERJA

Kedua, dihapusnya ketentuan penting terkait dengan pembayaran pesangon. Hal ini menurut ITUC akan memberi ruang perekrutan dan pemecatan pekerja untuk pengusaha sementara di saat yang sama merampas pekerja dari tunjangan mereka. Pekerja kontrak jangka tetap, misalnya, akan mendapatkan manfaat lebih lama dari pembayaran pesangon.

“Kategori lain dari pekerja yang kehilangan uang pesangon mereka termasuk pekerja diberhentikan sebagai bagian dari prosedur penghematan atau pekerja yang diberhentikan untuk sakit yang berkepanjangan dan kecelakaan kerja,” terang Burrow.

Ketiga, penggunaan berlebihan kontrak sementara atau outsourcing untuk pekerjaan yang bersifat permanen. “Secara mendadak, undang-undang tidak mengizinkan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja kontrak termporer selama lebih dari dua tahun untuk pekerjaan yang sifatnya permanen,” jelasnya.

Keempat, hilangnya batasan bagi pengusaha untuk dapat melakukan outsourcing semua kegiatan mereka ke sektor kerja yang tidak aman seperti pekerja per jam dan lain-lain.

“Akibatnya, banyak pekerja mungkin tidak dilindungi oleh asuransi kesehatan dan skema pensiun dengan majikan mereka dibebaskan,” ujarnya.

Kelima, tidak terjaminnya risiko terhadap kesehatan dan keselamatan.

“Jumlah jam maksimum lembur yang diizinkan telah meningkat, yang dapat menyebabkan risiko kesehatan dan keselamatan yang signifikan,” imbuhnya

Terakhir, potensi dihapuskannya hak berserikat buruh termasuk untuk berdialog terkait upah dan efisiensi tenaga kerja.

“Persyaratan untuk berkonsultasi dengan untuk meminimalkan kehilangan pekerjaan dan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak buruk dari pengakhiran jika terjadi restrukturisasi telah dihapus,” tandas Burrow.

SN 09/Editor