Foto Buruh Sawit

(SPNEWS) Jakarta, Industri sawit RI merupakan salah satu penyumbang devisa negara. Mengingat, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yang memiliki kontribusi signifikan terhadap devisa negara, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi.

Sayangnya, dibalik kesuksesan dan kontribusi tersebut, terdapat praktek-praktek seperti upah murah, ketidakpastian kesejahteraan, dan perlakuan tidak adil terhadap buruh, menjadi perhatian bersama secara serius.

“Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia ini mencapai 14,99 juta hektare (ha) pada tahun 2022. Jumlah itu meningkat 2,49% dibandingkan 2021 atau pada tahun sebelumnya yang seluas 14,62 juta ha,” kata Ketua Pimpinan Pusat Federasi Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Kehutanan Sarbumusi Fahri Fatur Rakhman , (1/9/2023).

Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM Sumarjono Saragih menceritakan perjalanan industri sawit masuk ke Indonesia pertama kali adalah tahun 1848 yang mulanya hanya 4 biji saja. Kemudian, mulai dikomersilkan 1911 di Aceh yang mulanya hanya 30 hektare saja.

“Sampai saat ini sudah ada sekitar 16 juta hektar dan menobatkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia,” jelas dia.

Baca juga:  AKIBAT PANDEMI COVID-19, KONTAINER MENJADI LANGKA

Sumarjono mengakui adanya pekerjaan rumah yang dihadapi oleh pengusaha. Oleh karena itu kolaborasi multi pihak yang dipimpin oleh pemerintah sangat diperlukan.

“Karena di sini ada 58 persen (kebun kelapa sawit) milik perusahaan, 42 persen adalah petani. Yang di mana, petani ini tidak semua kecil, artinya di sana ada tanggung jawab yang harus dijalankan,” jelas dia.

Oleh karena itu, pihaknya tak menutup diri untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Sehingga, dapat ditemukan solusi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang di hadapi pengusaha dan buruh di perkebunan kelapa sawit.

“Sawit tersebar di 160 Kabupaten ini masih minim pengawasan. Jadi ada kadang-kadang kelupaan hak-hak dan kewajiban. GAPKI sebagai organisasi pengusaha yang sifatnya sukarela. Oleh karena itu, kita menjadi organisasi yang terbuka. Kita coba sama-sama apa yang bisa dilakukan sesuai tugas masing-masing,” jelas dia.

Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler Parsaoran menyoroti belum adanya data buruh yang baku untuk dijadikan rujukan. Pasalnya, versi GAPKI terdapat 16 juta buruh, Kadin sebanyak 21 juta, KBS sebanyak 20 juta buruh dan pemerintah 16,2 juta buruh.

Baca juga:  PELATIHAN KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI UNTUK PEMIMPIN PEREMPUAN

“Kita belum bisa menemukan data yang bisa menjadi acuan, sebenarnya jumlah buru berapa orang? Karena itu, ke depannya ada acuan data yang menjadi acuan,” jelas dia.

Lebih lanjut, Hotler mengatakan masih adanya praktik kontak yang belum jelas antara pengusaha dengan buruh. Sehingga, pekerjaan yang dilakukan buruh tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Tidak ada kontrak kerja ini mengakibatkan apa yang terjadi antara pekerja dan buruh tidak bisa bertanggung,” papar Hotler.

Selain itu, dari aspek jaminan sosial, para buruh belum mendapat hak-haknya. Belum lagi, terkait dengan kondisi buruh lepas yang mayoritas adalah perempuan.

Dia menyatakan, kesejahteraan buruh harus menjadi pilar utama keberlanjutan industri kelapa sawit yang ideal. “Memang masih ada banyak PR. Karena itu, kita telah membuat naskah akademik dan kita harap bisa membahasnya secara bersama sebagai langkah strategi kebijakan,” papar dia.

SN 09/Editor