(SPNEWS) Jakarta, ​Banyak pekerja di Indonesia berstatus pekerja tetap hingga berpuluh-puluh tahun. Gaji standar upah minimum, tanpa jenjang karir yang jelas hingga memasuki masa pensiun. Puluhan orang berdiri sambil mengobrol, bersenda gurau  di sela-sela menunggu waktu masuk jam kerja di depan halaman sebuah pabrik. Salah seorang dari mereka bernama Syarif. Dari wajahnya masih terpancar semangat walaupun sudah separuh masa hidupnya ia habiskan di dalam pabrik. Percakapan demi percakapan akhirnya harus terputus oleh tanda masuk yang mengharuskan mereka berhenti dalam obrolannya.

Perlahan memasuki area dalam pabrik, Syarif dan teman-temannya mulai mengerjakan rutinitas harian sebagai operator di sebuah pabrik pengolahan minyak goreng. Tanpa beban ia laksanakan tugasnya setiap hari, demi tanggung jawabnya sebagai pekerja dan sebagai kepala keluarga karena ia sudah menikah dan sudah dikaruniai 2 orang anak. Bukannya tidak berusaha lebih baik, di rumahnya sendiri bersama-sama dengan istrinya ia membuat kerajinan dari limbah-limbah pabrik yang kemudian ia jual ke pasar sebagai tambahan pendapatan keluarga.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, jam istirahat menjelang. Syarif dan teman-temannya beristirahat menikmati makan siang yang sengaja ia bawa dari rumah untuk mengurangi pengeluaran. Daripada harus beli di warung, tidak cukup dengan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Buat Pak Syarif jumlah uang itu akan lebih baik kalau ia sisihkan buat di rumah, walaupun dengan cara seperti itu tetap saja gaji yang didapatkan setiap bulan rasanya tidak pernah cukup apalagi lebih. Jangankan buat rekreasi seperti orang lain, memikirkan kebutuhan sehari-hari saja sepertinya tidak ada habisnya.

Baca juga:  RIBUAN BURUH TANGERANG UNRAS TOLAK RUU CILAKA

“Sudah lebih dari 20 tahun saya bekerja di sini tapi gaji saya sama saja seperti pekerja yang baru masuk satu tahun. Walaupun ada bedanya di tunjangan masa kerja tapi selisihnya hanya puluhan ribu saja” ujar Syarif saat ditemui di rumah kontrakannya.

Ia tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan lain karena mengingat usia yang tak lagi muda. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya bekerja sebaik-baiknya daripada jadi pengangguran. Dengan bersepeda rajin ia berangkat ke pabrik setiap harinya, walaupun jarak rumah kontrakannya sangat jauh hampir lebih kurang 10 KM. Pertanyaannya kenapa harus begitu jauh dari lokasi pabrik, karena kontrakan yang ia tempati sekarang menurutnya cukup murah sehingga bisa berbagi dengan keperluan yang lainnya.

“Setiap hari saya kayuh sepeda ini menuju pabrik. Jam setengah 7 sudah berangkat supaya saya tidak telat sampai di pabrik. Kalau untuk mengeluh mungkin sudah tak bisa lagi, sudah bosan saya. Orang-orang sudah berganti-ganti motor sementara saya dengan sepeda ini saja rasanya sudah cukup. Saya tidak mau banyak utang” ujarnya kembali. Sebuah teladan dalam prinsip hidupnya.

Laki-laki ini menginjakkan kaki di Jakarta  sekitar 25 tahun yang lalu, dengan latar belakang pendidikan SMP dan modal nekat. Hingga akhirnya bisa bekerja di perusahaan ini dengan bantuan salah seorang temannya. Setiap tahun memang selalu ada kenaikan gaji seiring dengan penetapan UMP oleh gubernur. Tapi apa daya Perusahaan juga tidak salah dengan memberikan sedikit perbedaan dalam nilai tunjangan masa kerja. Toh itu dianggap merupakan perbedaan dengan pekerja yang masa kerjanya lebih baru dan yang pasti itu hanya sebuah kebijakan.

Baca juga:  GEBRAKAN KOMITE PEREMPUAN DKI JAKARTA

Dilihat dari kesehariannya dan berdasarkan keterangan dari beberapa orang dilingkungan kerjanya bahwa Syarif ini bisa dikategorikan rajin, loyalitas terhadap perusahaan tinggi dan untuk urusan kehadiran Syarif dianggap nomor wahid. Tapi apalah daya sebagai pekerja yang dengan berbagai keterbatasan ia hanya bisa  menerima. Jam 16.00 WIB Syarif keluar dari pabrik dengan raut masih sama seperti ketika tadi pagi dia masuk, benar-benar tak kenal lelah. Sejenak bertegur sapa dengan teman-temannya dilanjutkan langkahnya menuju area parkir tempat ia menaruh sepedanya. Dinaikinya sepeda itu, tetap dengan gagahnya ia kayuh sepeda itu di antara deru-deru mobil dan motor yang bergantian menyalipnya.

Terakhir dia mendengar bahwa ada sebuah peraturan yang mewajibkan setiap perusahaan membuat dan mengatur tentang Struktur dan Skala Upah. Hal itu juga menurutnya ia tidak terlalu paham, hanya saja menurut yang ia dengar bahwa dengan hal tersebut akan membuat keadilan bagi pekerja dalam hal pendapatan. Dia juga tidak tahu apakah perusahaan tempat ia bekerja saat ini akan melakukan hal tersebut.

“Mudah-mudahan saja, apa yang sudah menjadi aturan bisa dijalankan” harapnya. Tersirat begitu dalam makna kalimat terakhirnya. Sekaligus menutup obrolan sore itu ditemani dua cangkir kopi yang memang sudah habis dari tadi.

Dede Hermawan/Coed