Hantaman terhadap industri textile Indonesia di mulai sejak 2007 – 2008 silam

(SPN News) Jakarta, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia saat ini sedang dalam kondisi yang tidak menggembirakan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta belum lama ini menjelaskan kondisi terkini industri TPT di Indonesia.

Redma bercerita jika hantaman kepada Industri TPT berawal pada tahun 2007 dan 2008 silam. Kala itu, industri tekstil China memutuskan untuk melakukan ekspansi besar-besaran. Perkembangan industri tekstil negeri Tirai Bambu tersebut ternyata menjadi pukulan keras bagi para pemain tekstil lokal, terlebih industri kain. Sejak saat itu, tepatnya tahun 2009 kain impor asal China secara perlahan-lahan membanjiri pasar Indonesia.

Hantaman masuknya tekstil China terus meningkat dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun. Berdasarkan data APSyFI yang diolah dari BPS, rata-rata pertumbuhan impor TPT nasional dalam 10 tahun terakhir meroket hingga 10,4% mencapai US$10,02 miliar pada 2018.

Padahal, pertumbuhan rata-rata ekspor dalam periode yang sama hanya tumbuh tipis 3% menjadi US$13,22 miliar. Alhasil, neraca perdagangan TPT Indonesia ikut menyusut hingga setengahnya, dari tadinya surplus US$6,08 miliar pada tahun 2008 menjadi hanya US$3,2 miliar tahun lalu.

“Nah ini yang bikin industri tekstil kita tidak sehat sejak tahun 2007-2008 sampai sekarang, kecuali di garmen karena dia masih bisa ekspor pakai kain impor,” ucapnya.

Baca juga:  UJI MATERI TENTANG DEWAN PERS

Data APSyFI juga menjelaskan bahwa kinerja perdagangan TPT pada 2018 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah karena ekspor hanya tumbuh 0,9%, sedangkan impor tumbuh sampai 13,9% sehingga neraca perdagangan TPT defisit 25,6%.

Menurut Redma, kondisi tersebut tercipta karena adanya Permendag Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Dalam kebijakan ini, pemerintah memberikan lampu hijau kepada pedagang (API-U) untuk melakukan impor bahan baku tekstil melalui Pusat Logistik Berikat (PLB).

Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu, khususnya di sektor pembuatan kain kalah bersaing dengan kain impor dan kurang terserap oleh industri garmen di hilir. Redma menyebut bahwa saat ini utilisasi produksi di sektor pertenunan, perajutan, dan pencelupan kain hanya berada di kisaran 40%.

APSyFI pun meyakini, jika kondisi ini terus berlanjut maka dalam waktu tiga tahun ke depan TPT akan mengalami ancaman defisit neraca perdagangan. APSyFI memperkirakan semester I-2019 impor naik sekitar 7% year on year (yoy) atau senilai US$4,4 miliar, sedangkan neraca perdagangan diprediksi tertekan menjadi US$2 miliar.

Untuk memperbaiki iklim usaha industri TPT, Redma menilai pemerintah bisa melakukan beberapa upaya seperti memberikan insentif yang membuat perusahaan TPT domestik bisa bersaing dengan perusahaan asing atau langkah lain memberlakukan pembatasan atas barang impor.

Baca juga:  UMK KOTA SEMARANG 2018 DALAM PERTARUHAN

Insentif yang semestinya dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan industri TPT bisa dilakukan dengan memberikan insentif tarif gas, kemudahan distribusi, dan kualitas sumber daya manusia. Dia berharap tarif gas dapat diturunkan ke harga US$6 per MMBTU dari kisaran harga saat ini US$9 per MMBTU demi mendorong daya saing pasar tekstil dan produk TPT.

Selain itu, pemerintah bisa mengambil langkah tegas untuk membatasi impor bahan baku. Jika pemerintah bisa membatasi bahan impor masuk maka permintaan di dalam negeri akan beralih ke perusahaan-perusahaan TPT lokal.

Redma mengusulkan kepada pemerintah untuk memperketat impor sejumlah produk yang bisa diproduksi oleh produsen dalam negeri, utamanya untuk produk HS 52 Kain Tenunan dari Kapas, HS 54 Kain Tenunan dari Benang Filamen Sintetik, HS 55 Kain Tenunan dari Serat Stapel Sintetik/Viscose Rayon sampai HS 62 Pakaian dan Aksesoris Pakaian Tidak Dirajut.

Karena produk produk tersebut sudah bisa diproduksi dalam negeri, maka impor sebaiknya hanya dilakukan oleh API-P yang mendapat P-tekstil dengan syarat dipergunakan untuk bahan baku sendiri, tidak diperjualbelikan.

“Jadi, tidak perlu kita impor serat seperti viscose karena sudah bisa dipenuhi dari dalam negeri,” tegasnya.

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor