Nike dan Adidas lebih memilih menghabiskan banyak uang untuk pemain/atlet, ketimbang pekerja yang sudah menjahit baju dan sepatu
(SPN News) Jakarta, Masalah sosial yang menyelimuti perhelatan Piala Dunia 2018 tak cuma berasal dari lingkup pekerja di kawasan Rusia. Namun, para pekerja dari Asia juga merasakan dampaknya.
Buruh pabrik Adidas dan Nike, yang jadi apparel terbesar dalam menyuplai berbagai macam produk ke para peserta, mendapatkan perlakuan kurang pantas.
Upah, jaminan kesehatan, dan tunjangan lainnya, dianggap tak sesuai dengan beban dan jam kerja mereka. Data dari Clean Clothes Campaign (CCC), Adidas dan Nike mengupah para buruh Asia dengan gaji yang berada di bawah standar.
“Nilai produksi dari sepatu Adidas dan Nike, yang diperuntukkan ke para buruh, cuma meningkat kurang dari 30 persen. Ini sedikit ketimbang yang terjadi pada awal 1990-an,” begitu pernyataan CCC dilansir Reuters.
“Dua apparel tersebut lebih memilih menghabiskan banyak uang untuk pemain ketimbang pekerja yang sudah menjahit baju dan sepatu,” lanjut mereka.
Jelang Piala Dunia 2018, Adidas dan Nike memang memusatkan proses produksi dalam berbagai produknya di tiga kawasan Asia, termasuk Indonesia. Dua negara lain adalah Kamboja dan Vietnam. Buruh garmen pada tiga negara tersebut, rata-rata mendapat upah 45 hingga 65 persen di bawah biaya kehidupan standar yang dibutuhkan.
Di sisi lain, salah satu juru bicara Nike menjelaskan, pihaknya terus berupaya untuk menemukan sistem baru agar tercapai keadilan upah bagi para buruh. Sementara itu, pihak Adidas mengklaim sebenarnya tak ada masalah terkait upah buruh. Sebab, dijelaskan sang juru bicara, Adidas telah bekerja dengan pemerintah Indonesia untuk memenuhi upah minimum yang berlaku.
Indonesia jadi pusat dalam produksi berbagai peralatan yang dipakai di Piala Dunia 2018. Data dari CCC menyebutkan, buruh garmen di Indonesia mayoritas adalah perempuan. Persentasenya mencapai 80 persen. Lalu, kebanyakan dari mereka mendapat upah sebesar US$102 atau setara Rp1,4 juta. Tentu, angka yang begitu kecil.
Berlandaskan dari fakta ini, Martin Buttle dari Ethichal Trading Initiative (ETI) menuntut adanya keseriusan Adidas dan Nike dalam memperlakukan buruh di Indonesia.
“Mereka harus bertanggung jawab dan membayar dengan harga yang pantas. Kegagalan dalam memenuhi standar minimum gaji, bisa berujung pada kemiskinan,” terang Buttle.
Persoalan buruh di Indonesia maupun negara Asia lain jelang Piala Dunia atau turnamen akbar lainnya seperti jadi penyakit yang klasik. Kerap kali, sebelum turnamen dimulai, masalah ini mengemuka ke publik.
Banyak aktivis yang mempertanyakan mengapa tak ada solusi tepat untuk para buruh, padahal turnamen sekelas Piala Dunia bisa mendatangkan keuntungan besar ke masing-masing pihak terlibat.
“Sepakbola adalah olahraga inspirasi. Tapi, harus diingat, di belakang orang-orang olahraga yang inspirasional, ada eksploitasi ekstrem dan penderitaan dari para pekerja. Ini yang harus dihentikan,” tegas aktivis Asia Floor Wage Alliance, Anannya Bhattacharjee.
Shanto dikutip viva.co.id/Editor