Ilustrasi
(SPNEWS) Jakarta, Sejumlah elemen masyarakat sipil termasuk aliansi pekerja rumah tangga (PRT) berencana melakukan aksi mogok makan atau berpuasa pada 14 Agustus 2023. Pada tanggal tersebut, mereka akan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI.
“Aksi tersebut bertujuan untuk menuntut dan menekan pihak DPR sebagai lembaga pembentuk Undang-undang untuk sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT menjadi Undang-undang,” ujar Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, (6/8/23).
Aksi tersebut dipilih sebagai simbol atas keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT yang menjadi korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. Menurut dia, penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sama artinya dengan pembiaran praktik penyanderaan terhadap PRT.
“Untuk itu, kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Mogok Makan untuk UU PPRT mendorong, menekan, dan mendesak DPR untuk mempercepat dengan sesegera mungkin pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi UU PPRT dan memberikan jaminan perlindungan secara hukum terhadap PRT,” kata Lita.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur menambahkan 18 kantor LBH di Indonesia akan turut serta dalam aksi tersebut. Ia mengaku akan mogok makan pada 14 Agustus 2023 mendatang sebagai bentuk solidaritas.
“Aksi mogok makan bukan hanya di Jakarta, di DPR, tapi dilakukan di berbagai penjuru di Indonesia. Kami menyerukan juga, mendorong di internal kami, 18 kantor akan mengawal, menemani, akan ikut, saya sendiri akan ikut mogok makan pada 14 Agustus 2023,” ucap Isnur.
Isnur menduga RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) mandek dibahas dan disahkan lantaran tidak ada kepentingan pemodal di baliknya. Ia pun membandingkan dengan pembahasan UU Cipta Kerja hingga Revisi UU KPK yang dilakukan secara kilat lantaran ada kepentingan pemodal dan koruptor dalam aturan dimaksud.
“Saya melihat ada proses yang tidak diutamakan oleh DPR. Kalau melihat Cipta Kerja yang betapa itu mewakili kepentingan investor begitu cepat (disahkan). Revisi UU KPK yang mewakili kepentingan koruptor juga begitu cepat (disahkan),” tutur Isnur.
“Ini UU, misal UU PPRT, UU Masyarakat Adat, itu mewakili rakyat dan enggak jadi cepat. Jadi, saya memandang, ada proses ketidakpedulian di situ. Ini menyangkut kepentingan rakyat yang lebih luas mereka tidak peduli, yang menyangkut pemodal, investor, atau yang melemahkan KPK ini jadi cepat,” imbuhnya.
Ia pun menjelaskan pemilihan aksi mogok makan dilakukan pada 14 Agustus 2023 atau menjelang hari kemerdekaan Indonesia.
“Ini adalah momentum mereka (PRT) merebut kemerdekaan. Di mana negara memastikan kemerdekaan mereka, bukan terus dijajah oleh pendiaman seperti ini,” imbuhnya.
Ia pun berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menyinggung permasalahan PRT dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan DPR/MPR pada 16 Agustus 2023.
“Ini momentum, angkatan periode ini sebelum masuk tahun pemilu untuk segera dibahas dan dipercepat. Jadi, jangan sampai masuk tahun pemilu, lepas lagi periode ini, besok lagi nol lagi,” tegasnya.
Puspitasari, mewakili Organisasi Kemudaan dan Kemahasiswaan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengungkapkan 19 tahun pembahasan RUU PPRT bukan waktu yang singkat nan menguras pikiran, energi dan materi belaka.
“Tapi juga terkuras batin yang teramat besar,” imbuhnya.
Ia mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak lupa kalau PRT merupakan bagian dari rakyat yang menjadi syarat mutlak terbentuknya negara. Pelbagai hak PRT dalam bentuk apa pun termasuk regulasi harus diakomodasi oleh negara.
“Sekitar 4,2 juta lebih PRT ini adalah nyawa manusia, dan negara tidak punya hak sama sekali mempermainkan nasib rakyatnya,” tandasnya.
Puspitasari lantas menyentil RUU PPRT yang kini sudah masuk sebagai inisiatif DPR. Ia berharap harapan yang sempat diberikan itu tidak menyakitkan pada akhirnya.
“Sampai hari ini kita tidak menginginkan bahwa harapan yang telah diberi saat itu adalah komitmen semu dari Bapak-Ibu sekalian. Istilahnya ada anak nangis dikasih permen terus diam, kita tidak ingin itu. Bukan seperti itu,” tutur dia.
“Kita tidak butuh permen dalam bentuk inisiatif tetapi kemudian kita dibiarkan terus kelaparan. Inisiatif DPR kemarin bukanlah permen yang kemudian menenangkan keputusasaan, lelahnya batin, lelahnya jiwa para PRT ini untuk menunggu negara memberikan jaminan-jaminan dan harapan yang nyata,” ungkapnya.
Atas dasar itu, aliansi, terang Puspitasari, akan terus menuntut komitmen pemerintah dan DPR untuk menjalankan fungsi dan peran sebaik-baiknya yakni hadir di tengah masyarakat termasuk PRT.
“Maka, aksi mogok makan menjadi bentuk tidak hanya aksi solidaritas, tetapi bentuk dari kami menuntut Bapak-Ibu DPR sekalian agar mengerti bagaimana penderitaan kami semua terutama PRT,” pungkasnya.
RUU PPRT pertama kali diembuskan sejak tahun 2004, tetapi hingga hari ini tidak kunjung jelas pembahasan dan pengesahannya.
Sejak 2004, RUU PPRT bolak-balik ke luar-masuk dari daftar Prolegnas DPR RI. Selama 19 tahun para PRT menunggu payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini.
JALA PRT mencatat 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
PRT juga termasuk ke dalam bagian dari korban-korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan total aduan kasus perdagangan yang ditangani SBMI sejak 2012 sampai 2020 adalah 2.597 kasus.
Dari jumlah tersebut, PRT merupakan korban perdagangan orang tertinggi yakni sebesar 58,5 persen (1.519 kasus).
SN 09/Editor