Selama kurun waktu 10 tahun belakangan ini ada penurunan pada produk domestik bruto (PDB) sebesar 6% karena deindustrialisasi

(SPN News) Jakarta, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami deindustrialisasi karena kontribusinya pada perekonomian makin menurun. Ekonom Indef Bhima Yudhistira dalam keterangannya di Jakarta, (29/6/2018) , mengatakan, kontribusi industri pada perekonomian justru sedang turun.

Ia menyebutkan, pada 10 tahun lalu, kontribusi industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) mencapai 26 persen, kini menjadi hanya 20 persen. “Kalau deindustrialisasi ini dibiarkan, maka serapan tenaga kerja secara nasional bisa kurang optimal,” katanya.

Dia menyebutkan, selama bertahun-tahun, Indonesia mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor yang serapan tenaga kerjanya rendah seperti sektor jasa. Selain serapan tenaga kerja, yang rendah, sebaran usaha sektor jasa juga terkonsentrasi di perkotaan. Padahal, penduduk Indonesia lebih banyak tinggal di perdesaan. Sementara, industri manufaktur memiliki daya serap tenaga kerja tinggi dan dapat dibangun dimana saja sesuai potensi daerah.
“Idealnya industri manufaktur menjadi sektor andalan, dengan ditunjang sektor jasa, pertanian, dan investasi,” katanya.

Baca juga:  ALIANSI PEKALONGAN MENGGUGAT

Oleh karena itu, dia menyarankan seluruh pemangku kepentingan perlu menyatukan pandangan dan upaya untuk mengembalikan sektor industri sebagai motor pembangunan. Kemerosotan Batam Bhima memberikan contoh kemerosotan industri antara lain bisa dilihat di Batam, daerah yang dirancang menjadi salah satu pusat industri. Menurut dia, setiap tahun, paling sedikit satu pabrik berhenti beroperasi di berbagai kawasan industri.

Di luar kawasan industri, kemerosotan juga terlihat pada sektor galangan kapal. Dari 110 galangan dengan 250.000 tenaga kerja pada 2014, kini hanya lima galangan aktif dengan total pekerja tidak sampai 22.000 orang. Kemerosotan juga terlihat nyata pada industri rokok. Dalam periode 2006-2016, sebanyak 3.195 pabrik rokok tutup dan 32.729 pekerja pabrik rokok dipecat. Hampir seluruh pekerja yang dipecat merupakan pelinting atau pekerja sigaret kretek tangan (SKT) dan jumlahnya terus meningkat. Para pekerja tidak punya keahlian lain karena buruh pelinting adalah orang-orang berketerampilan rendah yang tidak bisa dengan mudah mengganti pekerjaan.

Baca juga:  BURUH KOTA BANDUNG TUNTUT KENAIKAN 15 PERSEN, PJ WALIKOTA JAWAB HARUS IKUT PERHITUNGAN DARI PUSAT

Bhima juga mengusulkan pemerintah perlu memberi insentif pada industri penyerap tenaga kerja. Kebijakan afirmatif itu antara lain berupa penerapan pajak, cukai, dan retribusi, yang berbeda atau khusus dibanding sector dengan daya serap tenaga kerja rendah.

Shanto dikutip dari Industry.co.id/Editor