Ilustrasi

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Prof M Fauzan menyatakan UU Cipta Kerja merupakan suatu terobosan. Hal itu disampaikan saat menjadi ahli dari DPR dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).

(SPNEWS) Jakarta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Prof M Fauzan menyatakan UU Cipta Kerja merupakan suatu terobosan. Hal itu disampaikan saat menjadi ahli dari DPR dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)

“Kemudian dalam praktik, metode tersebut sekali pun UU Nomor 11 tahun 2012 tidak menyebutkan metode omnibus law namun terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan metode tersebut,” kata M Fauzan dalam sidang yang ditayangkan channel YouTube MK, (13/10/2021).

Keuntungan pertama, kata M Fauzan, meningkatkan kecepatan dalam pembentukan peraturan perundangan. Kedua, mempercepat koreksi total atas peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku.

“Yang ketiga, mempercepat harmonisasi dan sinkronisasi serta menghindari tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan,” kata ahli hukum tata negara itu.

Baca juga:  HAKIM MK CECAR SAKSI SOAL FGD DAN NASKAH AKADEMIK DALAM PROSES UU CIPTA KERJA

M Fauzan mengaku tidak bisa membayangkan apabila mengubah lebih dari 70 UU harus dilakukan secara konvensional. Sebab akan memerlukan waktu yang sangat lama.

“Misalkan untuk perubahan satu UU dibutuhkan minimal waktu 3 bulan, maka diperlukan waktu minimal sekitar 210 bulan atau setara dengan 17 tahun 6 bulan. Belum lagi berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengubah 70-an UU tersebut,” kata M Fauzan.

Atas pertimbangan di atas, M Fauzan menilai omnibus law yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah langkah tepat. Terutama dalam rangka menghadapi tantangan berupa ketidakpastian dan kelambatan ekonomi global.

“Memperhatikan hal tersebut di atas, maka dapat ahli menyimpulkan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2021 sebenarnya merupakan sebuah terobosan yang diambil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai dengan arah dan kebijakan pemerintah untuk mengakhiri obesitas regulasi yang mengakibatkan gerak dan langkah pemerintah dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan menjadi lambat,” tutur M Fauzan.

Baca juga:  TEMUAN BPK DALAM PENANGANAN COVID-19 DAN PEN

Sebagaimana diketahui, judicial review UU Cipta Kerja ke MK diajukan oleh banyak elemen. Yang mulai disidangkan saat ini 6 nomor perkara. Terakhir, Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA) juga mendaftarkan judicial review terkait pasal pengaturan amdal di UU Cipta Kerja dan saat ini masih diregistrasi di kepaniteraan MK.

“Menyatakan Pasal 22 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara bebas dan sukarela untuk melindungi kepentingan dan kebutuhannya’,” demikian permohonan Yayasan HAKA dalam berkas judicial review-nya.

SN 09/Editor