Sebuah ironi kehidupan proletarian (buruh) dengan kaum borjuis (pengusaha).
Gerimis pagi ini bukan halangan untuk beranjak dari peraduan. Segera mandi kemudian berpakaian dan berangkat. Tak perduli becek dan hujan dengan memakai mantel hujan ia pacu motornya menuju pabrik. Dalam dingin ia tetap berusaha untuk selalu tepat waktu mengejar jam kerja. Kadang tanpa sarapan dan asupan lainnya tetap gigih berusaha berjuang menjadi pekerja tetap. Di lain tempat ketika mentari terbit ia baru tertidur setelah semalam berpesta. Bersama teman-teman dan relasinya. Terik matahari pagi yang katanya sehat sudah tidak diperdulikan lagi, toh kesehatan bisa dibeli dengan keuntungan dari hasil menguras keringat para pekerjanya. Sebuah ironi kehidupan proletarian (buruh) dan kaum borjuis (pengusaha).
Tapi ironi ini sungguh menarik karena kedua kelas sosial ini tetap sama-sama saling membutuhkan. Bagi buruh, mengikuti aturan yang dibuat oleh para pemodal adalah suatu tuntutan hidup. Karena jika mereka ingin menyambung hidup, maka mereka harus bekerja dan yang menyediakan lapangan pekerjaan adalah pemodal (pengusaha). Posisi buruh yang serba sulit juga disebabkan oleh hubungan antara buruh dan pengusaha. Dimana-mana, antara buruh dan pengusaha selalu memiliki perbedaan kepentingan yang mendasar. Di pihak buruh, motif utama ia bekerja kepada pengusaha adalah untuk mendapat upah, sebagai pertukaran atas tenaga kerja yang telah ia keluarkan untuk berproduksi. Upah yang diharapkan tidak hanya sekedar untuk memulihkan tenaganya agar dapat bekerja kembali keesokan harinya (sekedar hidup), namun juga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya secara layak sesuai dengan standar manusiawi. Di pihak pengusaha, laba dan terus mendapatkan laba sebanyak-banyaknya adalah tujuan yang utama.
Dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut akan menghasilkan keadaan yang tidak seimbang antara buruh dengan pengusaha. Buruh tidak bisa menuntut apa-apa karena hidup mereka berada ditangan pengusaha. Solusi yang mungkin bisa membantu buruh adalah munculnya peran pihak ketiga yang mampu menjembatani sekaligus memiliki kekuatan untuk menekan pengusaha yang dalam posisi ini dipegang oleh pemerintah. Kenyataannya, pemerintah pun kemudian tidak bisa berbuat apa-apa bahkan cenderung di atur pengusaha sehingga buruh harus memperjuangkan nasibnya sendirian.
Untuk masalah kesejahteraan buruh, tidak cukup hanya sekadar dengan penetapan UMP atau UMK. Upah nominal tinggi tidak berarti sama sekali apabila buruh masih harus menanggung beban ekonomi yang mahal untuk kehidupan sehari-harinya seperti biaya sekolah dan kesehatan yang mahal ( BPJS Kesehatan seolah tak ada artinya ) . Disebabkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga dan pelayanan publik.
Di sisi yang lain, pengusaha mempekerjakan buruh dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik modal. Buruh dipandang sebagai faktor produksi yang sama dengan faktor produksi lain misalnya bahan baku, yang apabila tidak dibutuhkan lagi akan diganti, dibuang seenaknya tanpa ada kompensasi dan memiliki keuntungan di mata pemilik modal. Mereka hanya layaknya sebuah alat produksi (mesin) yang menghasilkan barang. Kondisi yang seperti ini akan menciptakan kebosanan dan akhirnya akan menurunkan produktivitas. Rendahnya produktivitas inilah yang menjadi senjata pemilik modal untuk memberikan tingkat kesejahteraan buruh yang sangat rendah.
Sistem kontrak dan outsourcing pun turut menjadi faktor penyebab sulitnya kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraannya. Sistem kontrak memunculkan praktek eksploitasi terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh perusahaan/agen penyalur tenaga kerja. Perusahaan atau agen ini bagaikan vampire atau drakula yang menghisap darah sesama manusia. Buruh harus menyalurkan beberapa persen dari gaji mereka yang minim untuk disalurkan pada perusahaan yang membawa mereka. Hal ini terpaksa harus mereka lakukan demi mempertahankan pekerjaan mereka. Kadang kala, buruh dituntut untuk berkompetisi dengan buruh lain untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas mereka demi mengejar kesejahteraan (bonus) yang lebih besar. Dengan kata lain, antar sesama buruh kemudian saling bersaing satu sama lain yang dalam konteks solidaritas kemudian inilah yang menghambat terbentuknya solidaritas kolektif sesama buruh. Konsekuensinya, serikat buruh tidak mendapat dukungan penuh dari semua buruh dan pemilik modal diuntungkan dengan kondisi ini.
Upah layak sesungguhnya tidak pernah terjadi di negeri ini, kecuali yang disebut upah murah. Sekalipun ada yang disebut standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), akan tetapi ukuran statistik tersebut belum tentu merepresentasikan kebutuhan hidup layak yang sesungguhnya dari masing-masing individu. Saya ambil suatu ilustrasi, jika terdapat 100 orang pekerja, terdapat di antaranya 30 orang yang memiliki persepsi mampu untuk memenuhi kebutuhan minimum, sebanyak 50 orang membutuhkan standar hidup layak yang lebih tinggi, dan sisanya mampu menerima keduanya. Indikator KHL belum sepenuhnya mencerminkan setidaknya kebutuhan dasar. Kebanyakan pendapatan para buruh lebih sering habis terserap untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ditambah lagi dengan produk Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 yang semakin menekan buruh jauh menuju titik paling marjinal.
Ketika harus berjuang dari buruh kontrak atau outsourcing menjadi pekerja tetap yang sama sekali tidak pernah ada nilai persentasi kemungkinannya. Ketika harus berjuang dengan upah seadanya dan dengan kebutuhan yang maha beragam. Ketika biaya sekolah mahal, biaya kesehatan mahal, ketika susah mencari kerja setelah usia yang tak lagi muda ( karena kebanyakan di kontrak) dan Ketika itu pula semangat berjuang untuk keluar dari semua itu harus digelorakan….LAWAN EKPLOITASI BURUH….
Dede Hermawan/Editor