Gerakan buruh di Indonesia telah mengarungi perjalanan panjang dari masa kolonial hingga saat ini. Kondisi politik tiap rezim mempengaruhinya dengan signifikan. Kini, gerakan tersebut disebut rentan disusupi muatan politik yang tak relevan dengan isu perburuhan.

(SPN News) Jakarta, Terkait dengan gerakan buruh dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah hal-hal yang bersifat makro telah berhasil disuarakan dan mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan. Meski demikian, gerakan buruh di Indonesia belum berjalan dengan efektif. Terbukti sejumlah isu yang dibawa lewat gerakan buruh tidak seluruhnya terealisasi. Banyak berbagai gerakan buruh yang mengadvokasi hal-hal tidak sesuai atau kurang relevan dengan substansi buruh, seperti menyinggung kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pemerintah. Penyuaraan isu tersebut cenderung bermuatan politis.

Gerakan buruh seharusnya menyuarakan isu-isu aktual yang lebih sesuai dengan substansi. Seperti polemik terkait Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Atau isu lain yang juga dapat disuarakan ialah tentang upah minimum dan sistem kerja kontrak (outsourcing).

Baca juga:  PERINGATAN HUT PSP SPN PT PWI JEPARA KE 3

Gerakan buruh jangan hanya sekadar euforia belaka. Jangan sampai isu-isu yang tengah disuarakan, hanya dipahami segelintir buruh yang mengikuti aksi unjuk rasa. Gerakan buruh harus tetap dalam koridornya agar tidak ada pihak yang memanfaatkan gerakan buruh yang memiliki massa dalam skala banyak untuk tujuan tertentu.

Tahun politik sekarang ini menjadi arena pencarian dukungan suara ke kantong-kantong suara potensial, termasuk golongan kelas pekerja atau buruh. Sebagai warga negara buruh punya hak politik. Hal yang wajar jika buruh memberikan dukungan terbuka terhadap salah satu calon. Entah itu calon presiden ataupun wakil-wakil rakyat baik itu ditingkat daerah maupun ditingkat nasional. Sebab, mereka juga mempunyai aspirasi yang perlu diperjuangkan. Dukungan terhadap salah satu calon adalah salah satu cara menyuarakannya.

Walaupun sebagai buruh, tetapi jadilah adalah pemilih yang melek politik, tahu ke mana harus menyalurkan aspirasi, meski pimpinan serikat mengarahkan ke calon tertentu. Aspirasi pimpinan, belum tentu mencerminkan buruh secara keseluruhan. Disparitas buruh banyak dan luas. Mustahil partai politik dan para calon bisa mencerminkan buruh. Yang terjadi saat ini adalah pimpinan serikat dan konfederasi memanfaatkan gerakan buruh untuk merapat ke figur politik. Dan fenomena itu terjadi tidak hanya di Jakarta, tapi hampir di seluruh daerah. Buruh adalah massa yang nyata, mereka satu nasib sehingga dianggap mudah dimobilisasi dan mudah dimanfaatkan kelompok tertentu.

Baca juga:  SEXUAL HARASSMENT DI PABRIK H&M DAN GAP ASIA

Sebagai buruh, mulailah membangun kesadaran, karena hanya sedikit saja buruh yang betul – betul paham dengan gerakannya. Terkait tahun politik berkacalah pada pemilihan-pemilihan sebelumnya yang hanya menjadikan perangkat organisasinya mendapatkan tempat yang nyaman dan melupakan anggotanya.

Sebagai buruh, mulailah membangun kesadaran. Buruh itu punya hak tak hanya sekedar datang, kerja, pulang dan kemudian dapat upah. Jadilah buruh yang cerdas….

Dede Hermawan/Editor