​Karena takut diPHK membuat “sebagian” buruh di DIY bungkam dan menerima perlakuan tidak adil dari pengusaha

(SPN News) Gunung Kidul,  Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tak harus diwarnai aksi kekerasan. Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Gunungkidul justru tidak tertarik berunjuk rasa hanya sekadar untuk memperjuangkan nasib buruh. Mereka punya pemikiran lain mengenai hal itu.

Sekretaris SPSI Gunungkidul Agus Santoso berpendapat, tuntutan upah layak justru bisa menjadi bumerang dan merugikan buruh. Menurutnya, para pengusaha sebenarnya mampu membayar buruh dengan standar upah minimum kabupaten/kota (UMK). Namun, kemampuan sebagian pengusaha cukup terbatas. Kondisi itulah yang dikhawatirkan. “Pengusaha bisa saja terapkan UMK, tapi banyak rekan kami justru kena PHK ( putus hubungan kerja, Red),” ungkapya di sela kegiatan senam sehat memperingati May Day di Alun-Alun Wonosari Selasa (1/5).

Baca juga:  MENAKER BARU BUKA DIALOG DENGAN BURUH

Bagi SPSI Gunungkidul, buruh lebih baik menerima upah apa adanya saat ini, yang penting lapangan pekerjaan tetap tersedia. Pernyataan Agus bukan tanpa alasan. Hal itu menjadi evaluasi atas kondisi perburuhan di Gunungkidul, yang menurutnya cukup stabil. “Perselisihan pekerja dengan manajemen perusahaan sangat minim,” katanya.

Veni Yulita, salah seorang pekerja toko perbelanjaan di Wonosari, mengaku tak bisa berbuat banyak menyikapi nilai upah yang diterimanya. “Ingin berontak, tapi kok terdesak kebutuhan ekonomi. Ya sudah dinikmati saja, kalau saya dirugikan tentu akan melapor ke pemerintah,” ucapnya.

Shanto dikutip dari radarjogja.com