(SPN News) Jakarta, kita beberapa tahun ini disuguhi oleh berita PHK dan tutupnya pabrik khususnya di sektor tekstil, garmen, sepatu yang akhirnya berdampak buruk bagi para buruhnya. Umumnya dalam kasus – kasus PHK atau tutup pabrik tersebut buruh menjadi pihak yang paling dirugikan. Seringkali buruh – buruh tersebut tidak mendapatkan hak – hak yang seharusnya meraka dapatkan.
Selain kasus PHK, buruh – buruh yang bekerja pada sektor tekstil, garment, sepatu yang notabane mengerjakan pesanan dari merek – merek ternama sering kali pula tidak mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan yang seharusnya. Sering kali mereka harus mengalami jam molor, upah yang tidak dibayarkan semestinya, status kerja yang tidak jelas, dan lain – lain yang semestinya brand – brand dapat menekan perusahaan suplayernya untuk mematuhi aturan yang ada. Seharunya brand merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab paling besar, karena pemilik merk yang menentukan atas semua kebijakan atas produk yang akan dikerjakan. Tetapi yang terjadi brand – brand tersebut tidak memiliki kontrol atau pengawasan atas berjalannya semua aturan yang sudah mereka tetapkan. Buruh – buruh di tekstil, garment dan sepatu diperlakukan tidak adil, mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak dipedulikan oleh pemilik merk karena yang terpenting adalah pemilik merk bisa memberikan order dengan harga semurah-murahnya dan mendapatkan kualitas sepatu dengan sebagus-bagusnya.
Sudah seharusnya brand – brand tersebut melakukan pengawasan dan audit yang ketat kepada perusahaan – perusahaan suppliernya dengan misalnya melibatkan serikat pekerja yang ada serta lebih terbuka untuk mengumumkan hasil – hasil temuannya, bukan malah ikut menyebunyikan pelanggaran – pelanggaran yang terjadi kepada buruh – buruhnya. Brand – brand tidak dapat lepas tangan karena mereka adalah pihak yang paling mendapatkan keuntungan terbesar sehingga ada tanggung jawab sosial pemilik merk kepada buruhnya.
SN 09/Editor