(SPNEWS) Jakarta, seperti yang sudah diberitakan sebelumnya bahwa PSP SPN PT Gunsbuster Nickel Industry (GNI) melakukan aksi mogok kerja dalam rangka menuntut kepada perusahaan dalam hal ini PT GNI untuk melaksanakan hak-hak normatif pekerja.
Sebelum aksi mogok kerja tersebut dilaksanakan, pihak PSP SPN PT GNI sudah berkirim surat aduan ke Kementerian Ketenagakerjaan maupun ke Komisi IX DPR RI, tetapi tidak ditanggapi.
Dalam surat tertanggal 29 Desember 2022 itu, para pekerja PT GNI menyampaikan 7 tuntutan utama agar pemerintah melakukan investigasi. Pertama, pekerja meminta agar diterapkan sistem manajemen K3 sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, menuntut perusahaan agar wajib menyediakan alat pelindung diri (APD) lengkap kepada pekerja, sesuai standardisasi jenis pekerjaan atau risiko di lokasi kerja.
Ketiga, menyetop skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Keempat, menghentikan pemotongan upah yang bersifat tidak jelas.
Kelima, menuntut perusahaan agar segera membuat peraturan perusahaan.
Keenam, menuntut perusahaan agar memasang sirkulasi udara di setiap smelter.
Ketujuh, menuntut perusahaan agar mempekerjakan kembali karyawan (anggota SPN) yang kontraknya diputus sebagai akibat dari mogok kerja sebelumnya.
PT GNI seakan menolak kehadiran serikat pekerja. Setiap upaya audiensi yang diajukan selalu ditolak, bahkan kontrak pekerja yang menjadi pengurus SPN tidak diperpanjang.
PSP SPN PT GNI sempat dibantu audiensi oleh wakil bupati dan bupati Morowali Utara, tetapi tidak membahas persoalan kasus, hanya mendengarkan pandangan, nasihat, dan arahan dari pemimpin setempat.
Karena tak ada respons, maka muncul rencana aksi mogok kerja lanjutan pada 11 hingga 14 Januari 2023. Sekali lagi mogok kerja ini terpaksa diambil karena permintaan pertemuan dengan manajemen PT GNI, yang selalu tidak ditanggapi dengan berbagai alasan.
Namun, sebelum ada pernah ada mediasi lain pada 10 Januari di kantor dinas ketenagakerjaan yang menghasilkan dua kesepakatan.
Pertama, serikat diminta untuk tidak melakukan aksi dulu sebelum terjadinya pertemuan yang disepakati 13 Januari. Kedua, jika di 13 tidak terjadi pertemuan, maka dipersilahkan untuk mogok kerja.
PSP SPN pun mematuhi kesepakatan tersebut dengan tidak melakukan mogok kerja pada 11 hingga 13 Januari. Namun, pihak GNI tidak tepat waktu dalam menepati janji pertemuan yang seharusnya berlangsung pada pukul 2 siang, mundur menjadi pukul 3 sore, dan kemudian tidak ada hasil kesepakatan apapun yang diraih dalam pertemuan tersebut. Oleh karena itu, pekerja PT GNI merencanakan aksi mogok kerja pada 14 Januari di luar area produksi alias pos 4.
Saat aksi berlangsung, ada anggota SPN yang berada di dalam pos 4 ingin mengikuti aksi mogok kerja tersebut, tetapi dihalang-halangi. Bahkan PSP SPN mengklaim terjadi pemukulan oleh tenaga kerja asing (TKA) terhadap pekerja yang ingin mengikuti mogok kerja. Kemudian aksi mogok berakhir pukul 5 sore waktu setempat, sesuai arahan dari kepolisian setempat. Apa yang terjadi setelah pukul 5 sore sudah di luar agenda serikat pekerja.
Kini, pasca hampir 3 bulan kemudian pengurus PSP SPN PT GNI yaitu Amirullah dan Minggu Bulu dinyatakan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Morowali Utara. Sungguh ini menjadi suatu hal yang ironi mengingat mereka bertindak dan berjuang untuk menegakkan hukum dan menuntut pemenuhan hak-hak manusia sebagai buruh, yang sebenarnya sudah menjadi kewajiban semua pihak khususnya negara untuk menjamin pelaksanaan hak-hak mereka.
SN 09/Editor