Pegawai salah satu SPBU di Bandar Lampung dibayar upah hanya Rp 1,3 juta dari UMK Kota Bandar Lampung 2018 sebesar Rp 2.263.390,87.
(SPN News) Bandar Lampung, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Lampung mengirim berkas kasus dugaan pembayaran gaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK) ke kejaksaan. Dalam berkas tersebut, seorang pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) terindikasi membayar gaji 23 pegawainya di bawah UMK.
Helmi Ady, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Disnakertrans Lampung, menjelaskan pengusaha yang menjabat direktur tersebut memiliki SPBU di wilayah Kecamatan Tanjung Senang, Bandar Lampung. Pihaknya mengindikasikan S, inisial pengusaha itu, melanggar pasal 185 jo pasal 90 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Kami, PPNS Disnakertrans Lampung, sudah melakukan penyelidikan sejak Agustus 2018 lalu. Penyelidikannya berdasarkan Laporan Nomor LK.01/VII/PPNS-Naker/2018, tertanggal 23 Agustus 2018,” kata Helmi, (16/6).
“Dari barang bukti serta keterangan puluhan saksi yang kami periksa, kami akhirnya menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” sambungnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Helmi mengungkapkan pihaknya mendapati ada 23 pegawai SPBU milik pengusaha itu yang menerima upah di bawah UMK. Adapun penetapan UMK tersebut mengacu Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/586/V.07/HK/2017 tentang Upah Minimum Kota 2018 di Wilayah Bandar Lampung. Nilai UMK itu sebesar Rp 2.263.390,87.
“Hasil penyelidikan kami bahwa perusahaan SPBU tersebut membayar upah pekerjanya di bawah UMK. Berkisar Rp 1.375.000 sampai Rp 2.250.000. Artinya ini ada pelanggaran upah. Tersangka dan berkas perkara sudah kami limpahkan ke Kejaksaan Tinggi Lampung,” ujar Helmi.
Basuki, kuasa hukum pengusaha S, menyatakan kliennya tidak berniat melakukan pelanggaran UU Ketenagakerjaan dengan membayar upah pegawai di bawah ketentuan.
“Klien kami tidak ada niat berbuat begitu. Tapi kondisinya yang begitu. Dari awal klien kami sudah menyampaikan kepada pegawai bahwa gajinya segitu. Kalau mau silakan, nggak mau nggak masalah,” kata Basuki kepada Tribun Lampung, Minggu.
Basuki menjelaskan SPBU di wilayah Tanjung Senang itu awalnya sudah tidak beroperasi. Pengusaha S, ungkap dia, kemudian mengambil alih SPBU, termasuk sejumlah pekerja di SPBU tersebut.
“Awalnya pom bensin itu sudah mati (tidak beroperasi lagi). Oleh Pak S, dia ambil alih. Kemudian dia bertanya kepada pegawai-pegawainya. ‘Kalian mau kerja nggak? Tapi gajinya segitu’. Mereka menyanggupi,” beber Basuki.
Basuki pun menilai penetapan kliennya sebagai tersangka oleh PPNS Disnakertrans Lampung terlalu dini. Seharusnya, menurut dia, Disnakertrans melakukan pembinaan terlebih dahulu. Sebab, kliennya tidak memiliki niat untuk melakukan kesalahan.
“Klien kami menyelamatkan SPBU yang mati. Pom bensin itu ibarat jual beli, bukan perusahaan besar. Kalau mau jujur, namanya SPBU, di mana-mana tempat juga sulit menggaji pegawainya sesuai standar UMK. Saya ada datanya, tapi sudahlah. Karena, kami ingin solusi yang terbaik, seadil-adilnya bagi klien kami,” tandas Basuki.
Pengusaha S yang terindikasi melanggar aturan mengenai upah pekerja itu saat ini tidak menjalani penahanan. Namun, ia terancam sanksi pidana sesuai pasal 185 ayat 1 jo pasal 90 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Sanksinya berupa pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta,” kata Helmi Ady, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Disnakertrans Lampung.
Helmi menambahkan kasus penetapan tersangka terhadap pengusaha yang terindikasi melakukan kejahatan upah ini merupakan yang pertama kali di Lampung. Selama ini, jelas dia, belum pernah ada kasus pembayaran upah atau gaji di bawah UMK yang naik sampai tingkat penyidikan.
“Kasus ini yang pertama di Lampung. Sebab sampai sebelum ini, belum pernah ada kasus yang naik sampai penyidikan dan pemilik perusahaannya jadi tersangka,” ujar Helmi.
SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor