Buruh dipabrik mayoritas adalah operator. Mereka mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan barang setiap hari sesuai target. Keberadaan mereka dibutuhkan dan menjadi motor dari jalannya proses produksi. Untuk meningkatkan penghasilan banyak buruh yang mengambil lembur, semakin banyak lembur menurut mereka akan semakin bagus bagi pendapatan. Tanpa lembur buruh hanya akan mendapatkan upah pokok dan tunjangan saja. Menurut pasal 77-78 UU NO 13 Tahun 2003 jam kerja diatur 40 jam per minggu dan dapat mengambil lembur per hari atau 14 jam per minggu atas persetujuan buruh yang bersangkutan.

Lembur dapat terjadi secara paksa maupun secara sukarela. Pertama buruh melakukan kerja lembur karena paksaan managemen/pengusaha. Buruh tidak bersedia kerja lembur karena bayarannya rendah atau tidak dibayar. Masalah ini biasanya menimpa sektor-sektor industri yang rentan, seperti industri padat karya. Buruh-buruh perempuan mengalami masalah dipaksa lembur dan kejar target. Kedua, buruh yang mengambil lembur secara sukarela Karena bayarannya besar, misalnya buruh disektor otomotif. Biasanya, upah pokoknya besar dan pembayaran lembur sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. Ada buruh operator yang mendapat upah diatas 10  juta karena mengambil lembur penuh selama satu bulan.

Baca juga:  PRODUKSI APD DALAM NEGERI TIDAK TERSERAP PASAR

Tetapi, upah besar karena lembur disertai juga dengan pengorbanan besar, bahkan seringkali tidak sepadan, sebab mereka harus bekerja hingga 11 jam per hari dengan mengorbankan waktu bersama keluarga dan sosialisasi dengan sesame. Jika dipikirkan lebih dalam, mereka yang mengambil lembur terlalu banyak telah menutup kesempatan pada buruh lain untuk bekerja pada perusahaan tersebut.

Buruh-buruh yang senang lembur ini pula yang sangat sulit diharapkan keaktifannya di serikat pekerja. Saat pengurus serikat pekerja mengajak mereka untuk ikut aktif dalam kegiatan dan perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan , maka mereka seringkali akan menolak dengan alasan sibuk bekerja. Mereka berfikir upahnya sudah besar dengan lembur sehingga perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Apalagi jika mereka diajak untuk memperjuangkan buruh kontrak, harpas, outsourcing dll, mereka pada umumnya akan menolak.
Penghasilan yang besar ini biasanya diikuti dengan perubahan gaya hidup, misalnya dengan mengambil kredit lebih banyak seperti rumah dan kendaraan bermotor. Tentu saja ini baik, tetapi peningkatan/perubahan gaya hidup ini terjadi diatas peningkatan jam kerja dan semakin tidak diperhatikannya nasib buruh yang lain seperti kontrak, harpas dll.

Baca juga:  SPN SUMUT PERDULI MASALAH INDUSTRI MALL DAN PERHOTELAN

Pada akhirnya , nilai upah itu sendiri menjadi turun secara riil karena kenaikan harga-harga barang dan kesehatan buruh yang memburuk akibat kebanyakan jam kerja, sementara daya tawar buruh akan terus menurun akibat dari semakin banyaknya buruh kontrak, borongan, harpas dll akibat dari ketidakpedulian buruh untuk berorganisasi serta berjuang akibat sebagian besar waktunya habis untuk kerja lembur. Jika buruh sakit dan terkena penyakit berat dan berbiaya mahal, maka biaya pengobatannya akan melebihi limit BPJS/asuransi yang pada akhirnya akan membuat buruh jatuh miskin.

Saat ini pengusaha terus meningkatkan jumlah buruh kontrak, harpas, borongan dll dan menawarkan pensiun dini kepada buruh tetap. Bahkan scenario tutup sementara atau pindah lokasi dapat dilakukan untuk menyingkirkan buruh tetap dan menggantinya dengan buruh kontrak, borongan, harpas dll. Buruh lama akan berganti dengan buruh baru, buruh yang tidak berserikat, buruh yang takut untuk berserikat dan akhirnya kesejahteraan bagi buruh akan semakin jauh untuk diraih dan hanya menjadi mimpi di siang hari bolong.

 

Shanto dari berbagai sumber/Coed