Buruh adalah salah satu bagian yang penting dan strategis dalam pembangunan serta dalam perputaran roda perekonomian suatu bangsa. Tetapi pada kenyataannya kehidupan kaum buruh di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera, yang ada adalah masih banyak pemerasan dan penindasan pada kaum buruh di negeri ini. Banyak hak-hak buruh yang belum sepenuhnya diperhatikan dan diakomodasi.

Masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum memahami definisi kata “BURUH”. Buruh di Indonesia selalu diidentikan dengan pekerja kasar, pekerja non skill, pekerja pabrik dll. Kesan yang sesungguhnya sangat keliru, karena definisi “BURUH” adalah “setiap orang yang bekerja pada orang lain dan mendapatkan upah darinya”. Dengan demikian cakupan buruh dari definisi ini sangat luas, dengan kata lain “BURUH” sesungguhnya adalah keluarga yang paling besar di negeri ini. Tetapi walaupun jumlahnya sangat besar peran “BURUH” sangat kecil atau bahkan bisa di katakan dikerdilkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergerakan buruh tidak begitu popular dan kurang mendapat dukungan serta perhatian baik dari masyarakat maupun dari negara.

Jika memperhatikan pergerakan buruh di negara-negara maju yang membangun perekonomiannya dengan industry, maka sudah sepantasnya “BURUH” Indonesia harus merasa “iri” dengan nasib yang lebih baik yang diterima oleh buruh-buruh di negara-negara industry tersebut. Pada negara-negara industry tersebut “BURUH” merupakan kekuatan yang besar dan menentukan dalam menentukan arah dan kebijakan baik ekonomi maupun politik. “BURUH” di negara-negara tersebut “terpaksa” dihormati dan dihargai oleh majikan/pengusaha dan negara. Dalam menentukan perjanjian, “BURUH” di negara-negara tersebut memiliki kekuatan dan posisi tawar yang sama dengan majikan/pengusaha baik dalam perundingan bipartite ataupun perundingan yang melibatkan negara (tripartit).

Baca juga:  BURUH SUMUT TOLAK OMNIMBUS LAW RUU CILAKA

Secara umum di Indonesia, “BURUH” masih dianggap dan berada di posisi “kelas dua” dibawah para majikan/pengusaha. “BURUH” Indonesia masih hanya dijadikan objek oleh majikan/pengusaha maupun oleh negara. “BURUH” Indonesia “hanya pasrah” dengan kemauan majikan, banyak pula hak-hak yang seharusnya diterima oleh kaum ”BURUH” ditiadakan/dinafikan, padahal hak-hak buruh dijamin oleh konstitusi negara ini.

Menurut UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ada beberapa point penting dari pasal ini yang dapat kita ambil yaitu : 1. Pengakuan atas hak mendapatkan pekerjaan yang layak, sudah semestinya seorang buruh mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Hak atas pekerjaan yang layak ini mencerminkan bahwa buruh bukan barang paksaan untuk bekerja hingga diluar batas kemampuan seorang manusia, misalnya dalam masalah waktu bekerja, waktu istirahat dll. 2. Pengakuan atas hak mendapatkan penghidupan yang layak, secara tidak langsung menyatakan dan menjamin bahwa “BURUH” berhak atas kesejahteraan. Ha katas penghidupan yang layak juga berkaiatan dengan kebutuhan hidup satu orang manusia atau satu keluarga buruh. Kesejahteraan buruh berkaiatan erat dengan upah yang  diterimanya.

Baca juga:  MAKNA IDUL FITRI

Pasal 27 ayat (2) ini dipertegas lagi dengan dikeluarkannya UU NO 13 Tahun 2003 yang berusaha untuk melindungi kehidupan “BURUH”, tetapi lagi-lagi jaminan ini “dikebiri” kembali dengan terbitnya PP NO 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Dengan PP ini maka hak buruh atas penghidupan yang layak menjadi “dikebiri”, dibatasi dengan pemahaman bahwa kesejahteraan buruh itu hanya tergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, sedangkan survei yang menyangkut kebutuhan rill buruh dihilangkan.

Oleh karena itu sangat penting sekali bagi kaum buruh untuk selalu melakukan penguatan secara internal, penguatan solidaritas, penguatan dan penyampaian isu tentang ketenagakerjaan dan kehidupan buruh pada khususnya. Sehingga ke depannya seluruh masyarakat Indonesia akan memahami dan menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari buruh itu sendiri. Kehidupan buruh adalah cerminan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya, gejolak pada kehidupan buruh akan berimplikasi pada gejolak sosial secara keseluruhan.

 

Shanto dari berbagai sumber/Coed