Kondisi anak bangsa saat ini menjadi sorotan, terutama ketika melihat antusiasme masyarakat dalam acara job fair, seperti yang baru-baru ini digelar di Bekasi. Ribuan orang, sekitar 25.000 pencari kerja, memadati acara tersebut untuk memperebutkan hanya 2.500 lowongan pekerjaan. Antusiasme ini mencerminkan dua hal: kebutuhan mendesak akan lapangan kerja yang semakin sulit didapat atau semangat para lulusan baru yang ingin memanfaatkan ijazah mereka melalui momentum seperti job fair.

Namun, di balik semangat tersebut, terdapat ketimpangan yang mencolok. Sementara rakyat kecil berjuang dan bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan, di sisi lain, banyak pejabat atau elit yang dengan mudah menduduki berbagai posisi di beberapa perusahaan. Pertanyaannya, apakah ini karena prestasi dan potensi mereka, atau semata karena jaringan dan relasi?

Data menunjukkan fakta yang lebih mencengangkan. Berdasarkan laporan Susenas 2024, hanya 1,05 juta orang—atau sekitar 1% dari total 280 juta penduduk Indonesia—menguasai 46% kekayaan negara. Angka ini menegaskan jurang ketimpangan yang begitu lebar antara kelompok kaya dan masyarakat lainnya, sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh Bank Dunia.

Di tengah realitas ini, cita-cita luhur yang disampaikan Sukarno dalam sidang BPUPKI tentang kesejahteraan rakyat yang tertuang dalam Pancasila menjadi semakin relevan. Pancasila mengamanatkan pemerataan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk segelintir orang. Selain itu, kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing, serta kebebasan menyampaikan pendapat dalam bingkai demokrasi tanpa tekanan atau ancaman, juga menjadi bagian dari visi tersebut.

Di momen peringatan Hari Lahir Pancasila, mari kita jadikan Pancasila sebagai pedoman untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Dengan semangat kebersamaan, kita wujudkan negeri yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak bangsa.

(SN-13)