Pertanyaan yang sangat ringan dan jawaban yang ringan pula. Namun, untuk mewujudkannya tidak seringan dari pertanyaan dan jawabannya.
(SPN News) Jakarta, Setiap tahun isu kenaikan upah minimum provinsi (UMP) selalu menjadi polemik. Meski sejak tahun 2015 lalu, pemerintah telah menggunakan formula yang didasarkan pada hitung-hitungan makro ekonomi. Adapun belaid yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Sesuai pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 aturan tersebut, penetapan upah minimum setiap tahunnya ialah hasil penambahan upah minimum tahun berjalan dikalikan tingkat inflasi, ditambah pertumbuhan ekonomi nasional.
Sejak terbitnya PP 78/2015, penetapan UMP memang berbeda. Hal ini tidak lepas dari aturan teknis yang ada di bawahnya. Sebelum adanya kebijakan ini, dalam menetapkan UMP Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, dan pihak netral dari akademisi akan melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang merupakan standar beberapa komponen kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam waktu 1 (satu) bulan.
Menurut Djoko Heryono, S.H. (Ketua Umum SPN) bahwa angka 8,51 persen untuk kenaikan UMP 2020 itu bukan kenaikan upah. Tapi penyesuaian terhadap laju harga yang naik dan naik. Maka upah buruh tak akan cukup layak bagi buruh.
Disinilah diperlukan formulasi ulang bagaimana menentukan upah secara lebih proporsional sehingga memberikan penghidupan yang layak bagi pekerja tetapi juga memastikan pertumbuhan ekonomi, khususnya industri tumbuh lebih agresif. Namun, skema apa yang dapat menjamin upah efektif dapat meningkat proporsional dibarengi jaminan keberlanjutan kerja? Selama dua hal ini tidak berjalan maka buruh tentu akan terus menuntut kenaikan upah minimum yang lebih tinggi mengingat upah minimum menjadi standar kenaikan upah berkala di perusahaan.
Disinilah pentingnya negara untuk memperkuat peran Serikat Pekerja dan LKS Bipartiet di dalam perusahaan untuk mendorong proses collective bargaining yang lebih efektif dibandingkan mengandalkan proses tripartite. Sebab, PP 78 tidak memberikan ruang yang cukup bagi serikat pekerja atau perwakilan pekerja untuk terlibat dalam proses penyusunan struktur skala upah. Sejauh ini tidak ada ketegasan pemerintah dalam memberikan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar membayar upah buruhnya tidak sesuai ketetapan upah minimum. Kenyataannya masih banyak buruh yang masih dibayar dibawah UMP/UMK.
Seperti yang telah tertulis dalam pasal 158 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, apabila perusahaan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 90 ayat 1, yaitu perihal larangan untuk membayar upah dibawah upah minimum, maka sanksi yang bisa diterima oleh perusahaan atau pemberi kerja adalah sanksi pidana : penjara paling singkat selama 1 tahun, paling lama selama 4 tahun atau denda minimal 100 juta rupiah, dan maksimal 400 juta rupiah. Hingga saat ini, masih jarang pekerja/buruh menempuh jalur hukum, jika upah yang ia terima tidak sesuai dengan UMP/UMK. Padahal konsep upah minimum merupakan jaringan pengaman sosial dimana itu adalah terendah yang berhak diterima pekerja/buruh.
SN 07/Editor