Foto Istimewa
Gempuran impor produk alat pelindung diri (APD) membuat industri dalam negeri akhirnya menyerah dan turunkan kapasitas produksi
(SPNEWS) Jakarta, Gempuran impor produk alat pelindung diri (APD) membuat industri dalam negeri akhirnya menyerah. Padahal, diversifikasi produk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk memenuhi kebutuhan APD bagi tenaga medis sempat jadi harapan untuk menopang kinerja.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman berujar yang terjadi kini justru sebaliknya, sejumlah pabrik mulai menahan produksi.
“Saat ini di gudang masih banyak APD yang menumpuk. Sementara, produksi APD di-hold karena sudah menumpuk dan takut tidak laku. Penurunan sudah sampai 30 persen dari saat produksi APD,” kata dia Rizal (9/12/2020).
Padahal, ketika awal pandemi, pemerintah meminta produksi APD dalam negeri digenjot. Waktu itu, kata Rizal, industri langsung memenuhi berbagai macam standar yang dibutuhkan agar produk dalam negeri bisa diserap untuk kebutuhan domestik.
Pelaku industri TPT pun berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikasi internasional agar bisa mendiversifikasi produksi APD, mulai dari Amerika Serikat, Taiwan, Hongkong, hingga Eropa.
“Setelah industri siap, bahkan kapasitas melebihi kebutuhan domestik, kami minta agar kemudahan impor dicabut. Namun, kondisinya sampai sekarang tidak juga ada pergerakan. Meski stagnan, angka impor masih cenderung tinggi,” kata dia.
Meski sempat dilarang, Kementerian Perdagangan telah merelaksasi kebijakan ekspor APD ke negara lain lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Bahan Baku Masker, Masker, dan Alat Pelindung Diri (APD). Kenyataannya, produksi untuk ekspor pun tak berjalan mulus. Kampanye produksi APD dengan lewat INA United yang digadang-gadangkan beberapa bulan lalu hampir tidak ada gaungnya.
“Produk dalam negeri nyatanya harus bersaing dengan negara lain yang lebih kompetitif. Secara harga, kuantitas, dan pengiriman produk kita masih kalah,” ujar Rizal.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) Redma Gita Wirawasta berujar produsen, khususnya dari industri kecil dan menengah (IKM) sudah enggan memproduksi APD. Hal ini dilakukan karena produsen tak mampu bersaing dengan APD yang diimpor oleh pabrikan besar. Ia menuding penyerapan APD lokal kental dengan nuansa politik agar produknya bisa diserap.
“Jadi, sepertinya produsen lokal sudah menyerah. Padahal, kita sudah punya APD yang masuk level III dan IV, termasuk bahan baku dari dalam negeri dan berlabel INA United,” kata Redma. Bahkan, kata Redma, juga ditemui produk impor di Jawa Tengah menggunakan logo merah-putih.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi memprediksikan impor APD masih akan terus tinggi, terutama impor dari Cina dan Korea Selatan. Menurut dia, harga APD impor dari dua negara tersebut jauh lebih murah karena terjadi kelebihan pasokan di pasar domestiknya.
“Jadi produsen APD Indonesia mesti siap-siap karena dengan terkendalinya Covid-19 di Cina Korea, pasar APD dalam negeri akan dibanjiri impor,” kata Suharno.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal Hastiadi mengatakan lebih murahnya produk APD impor terjadi karena harga bahan baku di pasar global sudah mencapai niilai keekonomiannya sehingga harganya lebih stabil.
Di saat yang bersamaan, Cina yang semula menyerap produk APD juga mendiversifikasi industrinya sehingga menjadi negara ekspotir yang besar juga. Sementara itu, kasus Covid-19 di negeri Tirai Bambu itu juga sudah terkendali.
“Bukan hanya di Indonesia, di pasar dunia juga tengah dibanjiri produk APD dari Cina. Hal itu yang menyebabkan surgical mask, surgical gown, dan lainnya mengalami penurunan,” kata Fithra.
Ia melihat meskipun kasus Covid-19 masih tinggi, beberapa negara juga sudah bisa mandiri memproduksi APD sendiri. Pada titik ini, kat Fithra, industri dalam negeri akan mengurangi produksinya karena sudah kelebihan pasokan untuk pasar ekspor.
SN 09/Editor