Ilustrasi

(SPNEWS) Jakarta, Ombudsman RI menyoroti tentang kondisi minimnya peserta BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Dari total angkatan kerja sekitar 138 juta orang, yang mendapat perlindungan BPJS TK baru sekitar 27% atau 38 juta orang.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Keasistenan Bidang Pemeriksaan Laporan VI Ombudsman RI, Ahmad Sobirin. Ia mengatakan, data Februari 2023 menunjukkan jumlah tenaga kerja yang mendapat perlindungan BPJS TK mencapai 34 juta. Kemudian pada Desember 2023 ini, data Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyebut keanggotaan BPJS TK mencapai 38 jutaan.

“Artinya yang tidak di-cover BPJS TK ada 100 juta pekerja. Itu tidak sedikit dan ini umumnya pekerja sektor informal atau bukan penerima upah,” katanya, dalam Bincang Media di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, (21/12/2023).

Ahmad menilai, angka tersebut tidaklah sedikit. Menurutnya, data ini menunjukkan bahwa banyak sekali pekerja sektor informal atau pekerja mandiri yang tidak mendapat perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).

Baca juga:  BANJIR DOORPRIZE DI PT NIKOMAS GEMILANG KABUPATEN SERANG

“Ketika dia mengalami hal-hal yang memang diatur dalam UU harusnya bisa dijamin BPJS TK, ini tidak diberikan. Dan sampai saat ini hanya 27,69% pekerja yang terlindungi Jamsostek,” ujarnya.

Menurutnya, BPJS TK ini punya PR besar. Apabila dibandingkan dengan BPJS Kesehatan yang keanggotaannya sudah mencapai 200 jutaan, jumlahnya sangat jauh dengan BPJS TK yang cuma 38 jutaan, padahal keduanya sama-sama diwajibkan.

Kemudian bila dibandingkan dalam hal sosialisasi, menurutnya iklan BPJS TK tak sebanding dengan BPJS Kesehatan yang bisa memenuhi kantor-kantor instansi pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya progresifitas dalam mendorong awareness masyarakat terhadap BPJS TK itu sendiri minimal lewat sosialisasi.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, di tataran paradigma kebijakan, perlindungan sosial merupakan mandat konstitusi dan hak warga. Dalam hal ini, ironisnya yang paling rentan dan butuh perlindungan ialah mereka yang informal, sementara justru merekalah yang paling sulit dijangkau.

Baca juga:  SPN  SOROTI LAMBATNYA PEMERINTAH DALAM MERATIFIKASI KONVENSI  ILO 183  

“Bahkan yang lebih penting sesungguhnya, paling rentan mereka yang informal. Kan kalau kita berbicara konstitusinya begitu. Tapi di kita lalu kemudian terhambat soal teknokratiknya bahwa yang lebih pasti datanya itukan tenaga formal, yang mungkin lebih pasti bayarnya adalah yang formal. Ada pertimbangan di mana ingin mudahnya saja,” katanya, dalam kesempatan yang sama.

Dalam hal ini, menurutnya makin tidak inklusif data Jamsostek, itu makin ke belakang semakin tidak inklusif dalam penerimaan bantuan sosial (bansos). Misalnya saja untuk bansos upah(BSU), itu berdasarkan data BPJS TK.

“Kepesertaan BPJS TK ini kebanyakan formal, sehingga BSU ini apakah yang Rp 3,5 juta atau yang Rp 5 juta, itu hanya diterima oleh mereka-mereka yang pekerja formal terdaftar di BPJS TK. Mungkin cara pemerintah bagus untuk mendorong mereka yang belum terdaftar untuk daftar, tapi problemnya kan bukan di situ. Orang kan tidak mendaftar bukan karena tidak mau,” jelasnya.

SN 09/Editor