​Indonesia yang sedang gencar melakukan kebijakan industrialisasi, dengan mendatangkan banyak investor baik dari luar negeri, atau menggandeng  investor dalam, untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Indonesia, khususnya di bidang Padat Karya,  berbagai kemudahan dalam perijinan pun ditawarkan pemerintah, bahkan Ribuan Perda yang telah menghambat investasi pun telah di batalkan oleh mendagri, dalam rangka memuluskan arus investasi di negeri ini , maklum saja Negeri dengan jumlah penduduk + 250 Juta jiwa ini, sedang dilanda membeludaknya angka pengangguran, selain itu janji Presiden Jokowi yang menyediakan Lahan Kerja buat pengangguran Indonesia, menjadi alasan utama dalam membuat kebijakan Industrialisasi ini. selain itu dalam menangkal virus perlambatan ekonomi, adalah dengan memperlancar arus transaksi keuangan di Wilayah Indonesia, untuk melaksanakan hal tersebut, Industri padat karya dianggap sangat efektif, sebab akan meningkatkan pendapatan per kapita penduduk, juga menggairahkan perdagangan di berbagai wilayah di negeri ini.

Namun, saat investasi asing telah marak, persoalan pun muncul, di antaranya adalah banyaknya TKA yang mendatangi Indonesia, baik TKA Legal maupun TKA Ilegal, keberadaan mereka kebanyakan berada pada kegiatan usaha, yang di miliki oleh pengusaha dari negerinya, dalam hal ini yang paling banyak adalah Tiongkok, dalam berbagai pemberitaan kebanyakan TKA Tiongkok sangat banyak yang ilegal di negeri ini. Sehingga hal ini sangat meresahkan pemerintah juga pekerja Nasional, yang awalnya tujuan menyelenggarakan kegiatan industri ini adalah untuk menyelesaikan persoalan pengangguran.

Hal ini wajar sebab, angkatan kerja di Indonesia setiap tahunnya sangat banyak, yang selama ini tidak terserap maksimal pada sektor sektor yang sudah ada, di antaranya adalah pertanian, nelayan, jasa, UMKM, Industri dll. Sehingga Industrialisasi sejatinya adalah kebijakan yang pro rakyat, dalam rangka untuk menghapus pengangguran.

Pola pembangunan, serta lokasi industri cukup menyebar di berbagai wilayah dari sabang sampai merauke, bahkan kegiatan pembangunan, proyek proyek besar, infrastruktur, maupun kegiatan usaha produksi makanan, perikanan bahkan pakaian banyak menyebar. Penyebaran lokasi industri ini, diharapkan akan dapat mampu menyerap seluruh angkatan kerja sehingga pemerataan pembangunan dari sabang sampai merauke dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa ada kesenjangan yang signifikan kondisi perekonomian atau industri di satu wilayah dengan wilayah yang lain.

Namun ketika kegiatan industri besar, telah melaksanakan kegiatan usaha, umumnya merekrut tenaga kerja Indonesia dengan sistem kontrak, atau juga dengan sistem outsourcing. Hal ini tidak cuman dilakukan oleh Perusahaan asing, atau perusahaan Swasta Nasional, namun juga banyak dilakukan oleh BUMN atau bahkan lembaga pemerintah, Oleh sebab itu pada kesempatan ini, mari kita mengulas tentang berbagai aturan tentang outsorcing juga pekerja kontrak.

Pekerja kontrak, atau dalam Kepmen No 100 tahun 2004, disebut pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang selanjutnya disebut PKWT, adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu, atau untuk pekerja tertentu. Sedangkan pekerja tetap adalah, pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, yang selanjutnya disebut PKWTT, adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

Dalam pasal 2 Kepmen no 100 tahun 2004 tentang PKWT, pada ayat 1 disebutkan, Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah dari pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini khususnya UU no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP 78 Tahun 2015, serta berbagai sistem perundang-undangan yang berlaku. Bisa di jabarkan bahwa, hal hal yang diterima oleh pekerja, meskipun pekerja kontrak tidak diperbolehkan satu halpun yang di kurangi, dari ketentuan yang ada, di antaranya adalah Upah, Jaminan Kesehatan & Keselamatan Kerja, Kebebasan berserikat,  jam kerja, ketentuan lembur, cuti dll. hal ini sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 5 menyebutkan, bahwa Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama, tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Di lengkapi pada pasal 6, yang berbunyi Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama, tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Kepmen No 100 tahun 2004, juga sudah mengatur tentang syarat-syarat pekerja, atau pekerjaan atau pengusaha yang boleh di PKWT, atau melakukan PKWT, adalah sebagai berikut, Pertama untuk pekerjaan yang sekali selesai, atau sifatnya sementara, adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Kedua PKWT sebagaimana dimaksud (sementara), adalah pekerjaan yang dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. Ketiga Dalam hal pekerjaan tertentu, yang diperjanjikan dalam PKWT, dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum, pada saat selesainya pekerjaan. Keempat Dalam PKWT, yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Kelima Dalam hal PKWT, dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu, pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. Keenam Pembaharuan sebagaimana dimaksud, dalam item kelima dilakukan setelah melebihi masa tenggang, waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Ketujuh Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, sebagaimana dimaksud dalam syarat (6), tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha. Delapan  Para pihak dapat mengatur, lain dari ketentuan dalam syarat ke (5) dan (6) yang dituangkan dalam perjanjian.

Baca juga:  PEMERINTAH BERUPAYA DORONG PENINGKATAN CAKUPAN KEPESERTAAN BP JAMSOSTEK

Kepmen 100/2004, menyebutkan bahwa PKWT juga dapat digunakan untuk jenis usaha yang musiman, selain itu PKWT juga dapat dilakukan untuk pekerja yang mengerjakan produk baru, atau perusahaan baru, atau masih dalam tahap uji coba, yang hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun. PKWT wajib dicatatkan, oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.

Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu ) hari, dalam 1 (satu)bulan. Maka apabila terdapat pekerja PKWT, atau harian lepas yang bekerja lebih dari 21 hari dalam 1 bulan, maka otomatis pekerja tersebut berstatus PKWTT, atau pekerja tetap. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh, pada pekerjaan sebagaimana harian lepas, wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan para pekerja/buruh.

Perjanjian kerja harian lepas, dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan harian lepas, sekurang-kurangnya memuat nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja/buruh, jenis pekerjaan yang dilakukan, besarnya upah dan/atau imbalan lainnya. Daftar atau perjanjian tersebut disampaikan, kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, dan huruf latin, berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

Mahkamah konstitusi (MK) memberi keputusan bernomor 7/PUU-XII/2014 atas kebuntuan pelaksanaan frasa demi hukum dalam pasal 59 ayat 7 pasal 65 ayat 8, dan pasal 66 ayat 4 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT),  alias pekerja kontrak (Outsourcing)  menjadi pekerja tetap secara otomatis.

Dalam putusan Mahkamah memaknai Frasa demi hukum dalam ketiga pasal terkait, pengesahan proses peralihan status dari PKWT ke PKWTT melalui penetapan Pengadilan Negeri, sebelum ke pengadilan kedua pihak (Pekerja dan Pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bibpartite, tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan di daerah.  Menurut Mahkamah frasa demi hukum pasal 59 ayat 7 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, pekerja dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri, setempat dengan syarat a). Telah dilaksanakan perundingan bipartite namun, tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; b). Telah dilaksanakan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenaga kerjaan berdasarkan perundang undangan.

Hal-hal diatas, mempertegas bahwa PKWT sejatinya tidak begitu saja di lakukan (bebas), sebab peraturan yang ada mengatur begitu ketat. Namun pada realitas, hal ini seringkali overlepping, ketidakpahaman masyarakat, terhadap berbagai ketentuan, atau persyaratan legal melaksanakan PKWT, menjadi hal yang sangat dominan, menjadikan perusahaan atau pengusaha sering memanfaatkan hal ini, sehingga banyak pekerja yang berstatus PKWT, namun sejatinya hal tersebut tidak diperbolehkan, serta melewati batasan peraturan yang di tetapkan dalam perundangan undangan Indonesia. Selain itu ketidaktegasan petugas Ketenagakerjaan, yang terkesan melakukan pembiaran terhadap berbagai persoalan pekerja outsourcing juga pekerja kontrak oleh instansi terkait, menjadi semakin memperparah kondisi.

Mari kita perhatikan seksama, berbagai kegiatan usaha atau pekerja di berbagai kegiatan usaha, dari pesisir sampai dengan Hutan belantara, pekerja Indonesia umumnya berstatus Pekerja Kontrak (PKWT), tidak sedikit di antaranya berstatus Outsourcing, baik yang bekerja di perusahaan kecil maupun perusahaan besar, BUMN ataupun swasta, baik lembaga keuangan maupun perusahaan produksi, atau bahkan Instansi Pemerintah, baik yang profit orientite atau yang non profit,  hampir 100% Perusahaan yang berdiri sejak 2006 sampai dengan 2017, menjadikan pekerja berstatus Pekerja Kontrak.

Tidak cuman itu, pekerja juga banyak menerima kebijakan yang tidak semestinya (diskriminatif), banyak hak pekerja yang terenggut, mulai Upah yang tidak UMK, tidak mendapat BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Kontrak yang lebih dari 3 tahun berturut turut, pekerja harian lepas yang bekerja lebih dari 21 hari dalam sebulan dll.

Hal ini menjadikan miris, sebab jika semacam ini maka pekerja sepertinya tidak memiliki masa depan, tidak ada keamanan ekonomi yang dapat menjadi andalan, sebab selalu waswas, apakah kerjanya akan di perpanjang tiap 3 bulan sekali, 6 bulan sekali, 1 tahun sekali atau bahkan 2 tahun sekali. Kondisi seperti ini yang menjadikan angka pengangguran terselubung selalu meningkat, dan tidak akan menemukan angka pastinya, meskipun jumlah industri selalu meningkat.

Kebijakan pemerintah, yang bermaksud untuk menghapus pengangguran, akan sulit di laksanakan, sebab hambatan paling besar adalah sistem kerja kontrak atau bahkan outsourcing, sehingga tiap bulannya di perusahaan, akan selalu hilir mudik penerimaan pekerja baru, juga pemberhentian pekerja, hal ini anehnya tidak terdokumentasikan dengan baik, sehingga jumlah angkatan kerja, yang direkrut tiap bulan serta yang diberhentikan tidak pernah dapat dipublikasikan.

Persoalan ini semakin lama semakin besar, ibarat boom yang akan siap meletus setiap saat, namun pemerintahan, tidak ada langkah kongkret dalam menyelesaikan persoalan ini. tidak ada satu pun produk hukum yang berorientasi pada perlindungan pekerja dapat dilaksanakan sepenuhnya, baik oleh PPNS, ataupun mediator khususnya di wilayah kabupaten Ring 2, hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan kita, masih dalam pembenahan dalam menyambut Industrialisasi, yang di sebar di seantero negeri ini.

Baca juga:  TIDAK PUNYA E-KTP JADI TIDAK PUNYA JAMINAN SOSIAL

Satu sisi buat pemerintahan yang membidangi Ketenagakerjaan, diakui atau tidak bahwa Industrialisasi adalah hal yang baru buat beberapa Wilayah Ring 2, ataupun Ring 3 di berbagai Provinsi di Indonesia, sebab selama ini, jumlah industri sangat sedikit, sehingga Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) relatif tidak ada, juga dapat di kondisikan, namun ketika jumlah industri semakin besar, maka hukum alamiah, perselisihan Hubungan Industrial pun akan semakin banyak, hal ini perlu disadari oleh Pejabat yang berwenang (Pengawas, Mediator juga PPNS atau bahkan Kepolisian) bahwa peningkatan Kapasitas, serta Peningkatan jam terbang, serta banyak melakukan study banding Penyelesaian PHI adalah hal yang bijak, dalam rangka antisipasi peningkatan PHI di  wilayah kerjanya.

Sebab disisi yang lain, kita pahami bahwa pelaku usaha (Pengusaha/perusahaan), yang melakukan kegiatan usaha, adalah pemain lama, yang sudah berpengalaman di Kabupaten Kota ring 1, bahkan berkapasitas Nasional maupun Multi Nasional, tentu saja persoalan ketenagakerjaan, adalah hal yang sudah digeluti setiap hari, berbagai ruang kelemahan, berbagai peraturan ketenagakerjaan tentu sudah diketahui.

Hal ini yang menghawatirkan kita sebagai pekerja, dalam menyikapi fenomena maraknya praktek Pekerja kontrak, juga pekerja outsourcing, yang tidak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan, juga Kepmen no 100 tahun 2004 tentang PKWT, sebab dengan berbagai persoalan yang sudah di lakukan, bertahun tahun namun tidak ada tindakan kongkrit yang dilakukan oleh pemerintahan khususnya di Wilayah Jawa Timur, meskipun kini sudah diterbitkan Perda Prov Jatim no 8 Tahun 2016, tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, yang sudah jelas mengamanatkan dalam Pasal 43 ayat 3 yang berbunyi, Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/ buruh, yang memiliki hubungan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, mendapat perlindungan dan syarat-syarat kerja yang sama, dengan pekerja perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Namun masih banyak pekerja yang diperlakukan diskriminatif, serta tidak ada respon apa pun dari petugas yang berwenang.

Oleh sebab itu, perlu terobosan yang serius, dalam menegakkan berbagai peraturan ketenagakerjaan, dalam Hubungan Industri yang ada, jika pemerintahan memang serius dalam menyelenggarakan kegiatan industri, yang memiliki orientasi untuk menyejahterakan rakyat.

Tindakan yang perlu di lakukan menurut penulis, adalah pemerintahan, perlu menerbitkan kebijakan perlindungan tenaga kerja, di tiap Propinsi ataupun Kabupaten Kota wilayah kegiatan industri, dengan membangun sistem keamanan ketenagakerjaan, dari hulu sampai hilir (Rekruitment sampai terjadi pemutusan hubungan kerja). Di antaranya adalah membuat perda perlindungan tenaga kerja, memperbaiki sistem informasi ketenagakerjaan, sesuai Permen No 3 tahun 2009, tentang pedoman penyajian informasi ketenagakerjaan.

Sedang dalam penanganan berbagai persoalan Ketenagakerjaan, perlu menambah petugas dibidang ketenagakerjaan atau PNS KetenagaKerjaan, yang muda semangat terampil serta berkompeten, untuk menunjang petugas yang ada, sebab begitu luas cakupan kerja Ketenagakerjaan, yang menjadi kewenangan petugas Pengawas, Mediator juga PPNS, juga kepolisian dalam menyelesaikan berbagai tindakan kejahatan ketenagakerjaan, UU no 13 tahun 2003, yang selama ini jarang melibatkan pihak kepolisian.

Guna untuk meningkatkan Hubungan Industrial yang dinamis, di tiap perusahaan, maka berbagai pihak menumbuh suburkan Serikat pekerja, membangun sistem Hubungan Indutrial yang humanis, dari tiap perusahaan. Membangun sistem ketenaga kerjaan dengan  bertahap. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Kerja Kontrak, serta Sistem Outsourcing yang tidak sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan.

Hal ini tentu tidak serta merta dilakukan begitu saja, sebab beberapa wilayah indonesia masih dalam tahap penyesuaian, serta pembangunan Industri yang masif. Namun penegakan supremasi hukum, tentu tidak dapat dilakukan serta merta tanpa penyesuaian yang sistemis, dengan meminimalisir berbagai kemungkinan pelanggaran ketenagakerjaan, sehingga hubungan industrial dapat harmonis, pemerintah sebagai pihak yang berwenang, memfasilitasi komunikasi antara pengusaha dengan serikat pekerja, di antaranya adalah mengaktifkan Forum Lembaga Kerja Sama (LKS) Tri Partite di Kabupaten, memperbaiki Struktur Dewan Pengupahan, membangun LKS Bipartite di tiap perusahaan, hal ini tentu akan menjadi langka progresif yang dapat mencegah hal hal yang tidak diinginkan.

Sebab dengan iklim industri yang kondusif, pemerintah dapat melaksanakan program sesuai dengan yang di inginkan, Pengusaha dapat memperoleh keuntungan yang stabil, pekerja sejahtera, demokrasi di junjung tinggi, hal ini dapat di capai dengan penegakan supremasi hukum, sistem ketenagakerjaan yang saling menyelamatkan, bukan sistem ketenagakerjaan yang melakukan pembiaran terhadap persoalan ketenagakerjaan, yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar di kemudian hari. Sebab pembangunan kegiatan industri bukan untuk sehari atau dua hari saja, sehingga kondisi yang kondusif perlu di bangun dalam jangka panjang.
Identitas Penulis:

Nama : Ari Hidayat, SE.

Alamat : Desa Blajo RT. 002/ EW. 001 Kec. Kalitengah Kab. Lamongan 62255

Organisasi : Serikat Pekerja Nasional (SPN) Lamongan

 Juga Mantan Ketua DPC GmnI Lamongan 2005  2007

Email : aripapaedian@gmail.com

No HP/Wa : 0856 4651 2229

Coed