Ilustrasi
Presiden Jokowi diminta mencabut PP yang mengeluarkan limbah batu bara dan sawit dari kategori limbah B3 karena membahayakan kesehatan dan lingkungan
(SPNEWS) Jakarta, Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah melonggarkan aturan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Diketahui sebelumnya, PP yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja itu menginstruksikan agar limbah batu bara dan limbah penyulingan sawit dikeluarkan dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Melalui keterangan tertulis, Walhi pun mendesak Jokowi mencabut PP tersebut karena langkah ini dinilai sembrono dan dapat menimbulkan risiko tinggi terhadap kesehatan. Apalagi di tengah masa pandemi covid-19.
“Menurut penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, penderita Covid-19 yang tinggal di daerah-daerah dengan pencemaran udara tinggi memiliki potensi kematian lebih tinggi dibandingkan penderita Covid-19 yang tinggal di daerah yang kurang terpolusi,” kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati, (14/3/2021)
“Apalagi, kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar PLTU batu bara kebanyakan adalah masyarakat yang rentan secara sosial-ekonomi. Ini adalah salah satu aksi kebijakan pemerintah yang sangat tidak etis!,” lanjut dia.
Nur Hidayati mengoreksi pandangan pemerintah yang dianggap keliru yakni saat berdalih limbah dapat dimanfaatkan jika dikategorikan sebagai non-B3. Ia menjelaskan, limbah B3 bisa dimanfaatkan melalui pengujian karakteristik yang sudah diatur dalam PP No. 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3, tanpa mengeluarkan limbah tersebut dari kategori B3.
Menurut dia langkah mengeluarkan limbah batu bara dan sawit dari kategori B3 tidak sepatutnya dilakukan pemerintah. Terlebih jika berkaca pada pengawasan, penegakan hukum dan, pengendalian pencemaran lingkungan yang dia nilai belum maksimal.
“Pengubahan limbah-limbah B3 menjadi limbah non-B3 secara keseluruhan–tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah telah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat,” tutur dia lagi.
Nur mengatakan aturan baru ini justru dikhawatirkan mempermudah pembuangan limbah B3 dengan volume besar–yang kerap dilakukan diam-diam atau ditimbun sembarangan.
Pasalnya dengan mengkategorikan limbah-limbah tersebut menjadi non-B3, penerapan instrumen aturan pengelolaan limbah berbahaya demi meminimalisir pencemaran lingkungan jadi kian sulit.
Ia menduga aturan ini akan berdampak pada proses penegakan hukum, baik yang telah berjalan maupun yang akan datang, berimpak pada pertanggungjawaban kasus pencemaran yang diatur dalam UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ia menegaskan ketidakpastian dampak usaha atau kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya tidak dijadikan alasan menunda langkah menghindari ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, Nur mengatakan PP ini membuktikan bahwa UU Cipta Kerja tidak menjadikan kesehatan dan keselamatan lingkungan serta masyarakat sebagai pertimbangan utama pengambilan kebijakan.
Ia menyebut pengabaian tersebut justru berpotensi mengakibatkan beban biaya kesehatan masyarakat yang akan meningkat di masa depan. Dia pun menduga rangkaian kebijakan ini menunjukkan pemerintahan Jokowi lebih mengedepankan pelaku kejahatan lingkungan.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan kebijakan pelonggaran aturan untuk limbah B3 sudah melalui kajian mendalam. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati menegaskan pengawasan limbah akan tetap dilakukan meskipun masuk kategori Non-B3
SN 09/Editor