Para pemohon meminta agar program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua bagi pensiunan PNS atau PNS aktif tetap dikelola PT Taspen

(SPN News) Jakarta, Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Mohammad Saleh bersama 14 orang lainnya yang merupakan pensiunan pejabat PNS dan PNS aktif mempersoalkan pengalihan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PT Taspen) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada 2029. Kelima belas pemohon itu adalah peserta program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua di PT Taspen.

Mereka memohon pengujian Pasal 1 angka 1; Pasal 5 ayat (2); Pasal 57 huruf f; Pasal 65 ayat (2); dan Pasal 66 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029. Mereka meminta agar program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua bagi pensiunan pejabat negara, PNS atau PNS aktif tetap dikelola PT Taspen.
“(Karena) para pemohon selama ini telah menikmati pelayanan prima dan keuntungan yang diberikan oleh PT Taspen,” ujar kuasa hukum para pemohon, Andi Muhammad Asrun dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, (20/11/2019).

Asrun menerangkan para pemohon potensi merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal yang bakal mengalihkan manajemen PT Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029. Artinya, dalam beberapa tahun ke depan, PT Taspen tidak lagi menyelenggarakan program pembayaran pensiun dan tabungan hari tua selambat-lambatnya pada tahun 2029. Hal ini dapat menyebabkan penurunan manfaat dan pelayanan jaminan sosial akibat peralihan PT Taspen kepada PT BPJS Ketenagakerjaan.
“Aturan ini menimbulkan ketidakpastian bagi para pemohon terhadap pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan sosial yang dijamin Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945,” kata Asrun.

Baca juga:  SURVEI KHL DI KOTA SURABAYA

Asrun mengingatkan selama ini politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen (tata kelola) penyelenggaraan jaminan sosial antara pegawai pemerintahan dengan pekerja/pegawai nonpemerintahan (swasta). Hal ini termaktub dalam PP No 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pensiun yang menyebutkan penyelenggaraan program jaminan hari tua dan jaminan pensiun bagi peserta pada pemberi kerja penyelenggara negara dikecualikan dalam PP ini dan diamanatkan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.

“Dengan demikian, pembentuk UU menghendaki penyelenggaraan program jaminan pensiun dan program jaminan hari tua bagi PNS dan pejabat negara dilakukan secara terpisah dengan pengelolaan program jaminan pensiun dan jaminan hari tua bagi pegawai yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (swasta),” tegasnya.

Menurut Asrun, keterpisahan tata kelola penyelenggaraan jaminan sosial dimaksudkan karena PNS, pejabat negara, dan penerima pensiunan PNS merupakan pegawai pemerintah yang memiliki spesial karakter dan menghindari timbulnya risiko finansial yang sangat fundamental. Apabila terjadi risiko finansial terjadi (defisit BPJS) bisa berakibat ketenangan, semangat, daya kreativitas, loyalitas PNS dan pejabat negara menurun dalam mengemban amanah sebagai abdi negara termasuk menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Atas dasar itu, Asrun meminta kepada Mahkamah agar Pasal 1 angka 1 UU BPJS bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial“ tidak dimaknai sebagai “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, termasuk untuk mengelola jaminan sosial bagi Aparatur Sipil Negara oleh PT Taspen.”

Baca juga:  TUNTUT PEMBUBARAN BPJS, SPN AKAN AKSI NASIONAL DI DPR

Selain itu, Pasal 5 ayat (2) UU BPJS bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. BPJS Kesehatan; dan b. BPJS Ketenagakerjaan“ tidak dimaknai sebagai: “(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. BPJS Kesehatan; dan b. BPJS Ketenagakerjaan“ c. PT Taspen (Persero) sebagai penyelenggara Jaminan Sosial bagi Aparatur Sipil Negara.”

Pasal 57 huruf (f) UU BPJS terhadap frasa “sampai dengan dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan” dinilai bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 66 UU BPJS bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Suhartoyo meminta para pemohon untuk mengurai kedudukan hukum (legal standing) sesuai kapasitasnya masing-masing. Sebab, kapasitas para pemohon ada beberapa kelompok yaitu pensiunan PNS, pejabat negara, dan PNS yang masih aktif.

“Apakah sama kerugian konstitusional yang dialami para pemohon yang sudah purnabakti dengan (PNS) yang masih aktif? Karena harus dijelaskan juga sepanjang masih aktif, apakah bentuk kerugian konstitusionalnya sama dengan kerugian konstitusional pemohon yang sudah purnabakti?”

SN 09 dikutip dari berbagai sumber/Editor